Darah Wanita, FIKIH, Ibadah, Puasa, WANITA

Wanita Haid Tidak Perlu Qadha Puasa Asyura & Tetap Dapat Pahalanya

puasa asyura bagi wanita haid

Wanita Haid Tidak Perlu Qadha Puasa Asyura dan Bisa Mendapatkan Pahalanya

Pertanyaan:

Jika ada wanita haid di tanggal 9, 10, dan 11 Muharam, bolehkah dia mengqadha puasa di tanggal-tanggal itu setelah suci.

Jawaban:

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,

Orang yang tidak bisa puasa asyura, dia tidak perlu meng-qadhanya. Karena tidak ada dalil masalah ini. Di samping itu, pahala yang dijanjikan itu disyaratkan dengan melakukan puasa di tanggal 10 muharam. Sementara orang ini tidak berpuasa di hari itu.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya hal yang sama, kemudian beliau menjelaskan, Amalan sunah ada dua:

– Amalan sunah yang dilakukan karena sebab tertentu

– Amalan sunah yang tidak memiliki sebab, yang sering disebut puasa sunah mutlak.

Amalan sunah yang dilakukan karena sebab tertentu, kesempatan untuk melaksanakannya bisa habis dengan habisnya masa munculnya sebab itu, dan tidak bisa diqadha. Sebagai contoh, shalat tahiyatul masjid. Jika ada orang yang masuk masjid kemudian duduk agak lama, kemudian dia ingin melakukan shalat tahiyatul masjid maka shalat yang dia lakukan tidak bernilai tahiyatul masjid.

Termasuk dalam hal ini adalah puasa arafah dan puasa asyura. Jika ada orang yang menunda puasa asyura atau puasa arafah tanpa alasan yang dibenarkan maka dia tidak perlu mengqadhanya. Dan tidak bernilai puasa asyura jika dia mengqadhanya. Sementara jika ada orang yang memailiki udzur, seperti wanita haid, nifas, atau karena sakit, sehingga tidak bisa puasa asyura, pendapat yang kuat, dia tidak perlu qadha. Karena puasa asyura dibatasi dengan hari tertentu, dimana status hukum puasanya akan hilang bersamaan dengan selesainya hari itu. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/43).

Tetap bisa mendapatkan pahalanya tanpa puasa

Dalam fatwa islam (no. 146212) dinyatakan,

Orang yang memiliki udzur (alasan yang diterima) untuk tidak puasa, seperti wanita haid, nifas, orang sakit, atau musafir, sementara dia punya kebiasaan puasa di hari itu dan dia memiliki niat untuk melakukan puasa di hari itu, maka dia tetap mendapatkan pahala atas niatnya tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Apabila seorang hamba mengalami sakit atau safar (sehingga meninggalkan amalan sunah) maka dia tetap dicatat mendapatkan pahala sebagaimana amalan yang dia lakukan ketika mukim (tidak safar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari 2996).

Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,

( كُتِبَ لَهُ مِثْل مَا كَانَ يَعْمَل مُقِيمًا صَحِيحًا ) وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فمُنِع مِنْهَا ، وَكَانَتْ نِيَّته ـ لَوْلَا الْمَانِع ـ أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Dia tetap dicatat mendapatkan pahala sebagaimana amalan yang dia lakukan ketika mukim dan sehat”

Ini berlaku untuk orang yang punya kebiasaan melakukan amal soleh, kemudian dia terhalangi untuk melakukannya, sementara dia berniat untuk tetap merutinkannya, andaikan tidak ada penghalang.  (Fathul Bari, 6/136).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

🔍 Hukum Mimpi Basah Ketika Puasa, Hukum Bekerja Di Leasing, Tulisan Arab Al Quran, Jibril As, Niat Membayar Hutang Puasa Ramadhan, Ditindih Setan

QRIS donasi Yufid

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.