Mendulang Pelajaran dari Hadis Hakim bin Hizam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Hadis Hakim bin Hizam termasuk salah satu hadis yang menjadi acuan pokok dalam kajian fiqh muamalah maliyah. Terlebih ketika kita bersinggungan dengan bisnis online dan dropshipping.
Teks hadis,
Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللهِ، يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي الْبَيْعَ، لَيْسَ عِنْدِي مَا أَبِيعُهُ، ثُمَّ أَبِيعُهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ: لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Ya Rasulullah, ada orang yang datang kepadaku, lalu memintaku barang yang tidak aku miliki barang yang aku jual. Kemudian aku membelinya ke pasar. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan kamu jual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad 15311 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Larangan menjual yang belum dimiliki juga disebutkan dalam hadis lain, dengan redaksi yang berbeda. Diantaranya dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan 4 larangan dalam jual beli. Diantaranya,
وَعَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dan beliau melarang menjual barang yang tidak kamu miliki. (HR. Ahmad 6628, Nasai 4648 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kapan Hakim Menjual?
Hakim sudah menjual ke konsumennya sejak konsumennya datang pertama kali. Setelah transaksi dan Hakim dibayar tunai, kemudian Hakim mencarikan barang itu di pasar, kemudian diserahkan ke konsumennya.
Model transaki semacam ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau sebut sebagai tindakan menjual barang sebelum dimiliki.
Berikut keterangan Syaikhul Islam,
إنما سأله عن بيعه حالًّا فإنه قال أبيعه ثم أذهب فأبتاعه فقال له لا تبع ما ليس عندك
Hakim bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang jual belinya secara tunai. Karena beliau mengatakan, ‘Aku jual kepadanya, kemudian aku ke pasar membelikan barang itu.’ lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Jangan kamu jual barang yang tidak kamu miliki.’ (Tafsir Ayat Asykalat ala Katsir minal ulama, 2/692).
Keterangan lain disampaikan Ibnul Qayim,
فقول الرسول -صلى الله عليه وسلم- في حديث حكيم بن حزام: «لا تبع ما ليس عندك» العندية هنا ليست عندية الحس والمشاهدة، وإنما هي عندية الحكم والتمكين، ولهذا جاز بيع المعدوم الموصوف في الذمة إذا كان وقت التسليم قادراً على تسليمه كبيع السلم
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Hakim bin Hizam, ‘Jangan menjual barang yang tidak kamu miliki’, al-indiyah (tidak dimiliki) di sini bukan kepemilikan fisik, namun kepemilikan pengadaan (indiyah at-Tamkin). Karena itu, boleh menjual barang yang belum ada, yang telah dijelaskan kriterianya dalam tanggungan, jika pada waktu penyerahan, penjual mampu menyerahkan barang itu, seperti jual beli salam. (Hasyiyah Sunan Abi Daud, 9/299).
Perbedaan Mereka tentang Hadis Hakim
Setidaknya ada 3 pendapat ulama dalam memahami hadis larangan, ‘Jangan menjual barang yang tidak kamu miliki.’
Pertama, Bahwa larangan menjual barang yang belum dimiliki, berlaku jika barang yang dijual adalah barang muayyan (tertentu). Namun jika barang yang dijual tidak tertentu, namun berdasarkan kriteria (mausuf fi dzimmah), ini adalah pendapat as-Syafii.
Alasan pendapat ini, jika salam mu’ajjal (salam dalam waktu lama) dibolehkan dengan sepakat ulama, maka salam haal (salam yang waktunya pendek) seharusnya dibolehkan.
Sehingga yang dilarang dalam praktek Hakim adalah jual beli muayyan, untuk barang yang belum dia miliki.
Dinukil oleh al-Muzanni (simak Mukhtashar al-Muzanni, hlm. 553) pernyataan as-Syafi’i,
أما حديث حكيم بن حزام فإن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- نهاه والله أعلم عن أن يبيع شيئا بعينه لا يملكه، والدليل على أن هذا معنى حديث حكيم ابن حزام – والله أعلم – حديث أبي المنهال عن ابن عباس
Untuk makna hadis Hakim bin Hizam, – Allahu a’lam – bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya untuk jual beli sesuatu yang muayyan (tertentu), yang belum dia miliki. Dalil makna ini – Allahu a’lam – adalah hadis Abul Minhal dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma…
Kemudian Imam as-Syafii menyebutkan hadis tentang transaksi salam. Kemudian beliau mengatakan,
وهذا بيع ما ليس عند المرء، ولكنه بيع صفة مضمونة على بائعها، وإذا أتى بها البائع لزمت المشتري وليست بيع عين
Dan jual beli salam adalah jual beli sesuatu yang tidak dimiliki seorang penjual. Hanya saja, objek yang dijual barang yang ditanggung oleh penjual untuk mendatangkannya berdasarkan kriteria tertentu. Jika penjual bisa mendatangkannya, maka pembeli harus menerimanya. Dan ini bukan jual beli barang tertentu. (Mukhtashar al-Muzanni, 8/664).
Ibnu Daqiqil Id – ulama Syafiiyah – mengatakan,
الصورة الرابعة دل عليها قوله ق (ولا بيع ما ليس عندك) مثاله: أن يبيع منه متاعاً لا يملكه، ثم يشتريه من مالكه، ويدفعه إليه، وهذا فاسد؛ لأنه باع ما ليس في ملكه حاضراً عنده، ولا غائباً في ملكه، وتحت حوزته
Bentuk transaksi keempat yang disimpulkan dari hadis, ‘Jangan kamu jual barang yang tidak kamu miliki’ contohnya adalah orang menjual barang yang tidak dia miliki, kemudian dia membelinya dari pemiliknya, lalu diserahkan ke pembeli. Dan ini transaksi yang batal. Karena dia menjual barang yang bukan miliknya yang ada ketika akad, tidak pula barang miliknya yang berada di tempat lain, dan di bawah kekuasannya.
Kemudian Ibnu Daqiqil Id menyebutkan keterangan al-Baghawi, bahwa ini berlaku untuk barang muayyan (tertentu). Beliau mengatakan,
قال العلامة البغوي في شرح السنة: هذا في بيوع الأعيان، دون بيوع الصفات، فلذا قيل: السلم في شيء موصوف، عام الوجود عند المحل المشروط يجوز، وإن لم يكن في ملكه حال العقد…
Al-Allamah al-Baghawi dalam Syarh as-Sunah menyebutkan bahwa larangan ini berlaku untuk jual beli baranng muayyan (tertentu), dan bukan jual beli berdasarkan kriteria. Karena itu, terdapat pernyataan bahwa akad salam untuk barang yang disebutkan kriterianya, dan akan diserahkan pada tahun yang tentukan, hukumnya boleh. Meskipun ketika akad barang itu belum dia miliki. (Ihkam al-Ahkam, 3/178).
Kedua, bahwa larangan menjual sesuatu yang belum kamu miliki, mencakup dua hal,
[1] Menjual barang muayyan yang belum dimiliki
[2] Menjual barang yang belum dimiliki yang dijamin akan didatangkan sesuai kriteria (mausuf fi dzimmah), yang dilakukan dalam waktu cepat. Yang diisitilahkan dengan Salam Haal (Salam yang waktunya pendek).
Ini merupakan pendapat jumur ulama – hanafiyah (al-Hidayah Syarh al-Bidayah, 3/73), malikiyah, dan hambali.
Dalam al-Mudawwanah diyatakan,
قال مالك: كل من اشترى طعاماً أو غير ذلك، إذا لم يكن بعينه، فنقد رأس المال، أو لم ينقد، فلا خير فيه، طعاماً كان ذلك أو سلعة من السلع إذا لم تكن بعينها، إذا كان أجل ذلك قريباً يوماً أو يومين أو ثلاثة فلا خير فيه، إذا كانت عليه مضمونة؛ لأن هذا الأجل ليس من آجال السلم
Imam Malik mengatakan, ‘Semua yang membeli makanan atau yang lainnya, jika tidak tertentu, lalu pembeli melunasi harganya, atau dibayar tidak tunai, maka tidak ada kebaikan di sana (dilarang). Baik makanan atau barang lainnya, jika tidak tertentu. Jika batas waktunya pendek, sehari, dua hari atau tiga hari, tidak ada kebaikannya (dilarang), meski itu dijamin penjual (mausuf fi dzimmah). Karena rentang waktu pendek ini bukan termasuk rentang waktu akad salam. (al-Mudawwanah, 4/30).
Dalam al-Muawwanah dinyatakan,
وإنما قلنا: إن الأجل شرط في السلم، وأنه لا يجوز أن يكون حالاً خلافاً للشافعي لقوله -صلى الله عليه وسلم-: فليسلف في كيل معلوم، ووزن معلوم إلى أجل معلوم
Kami menegaskan bahwa adanya rentang waktu merupakan syarat dalam akad salam, dan tidak boleh dalam waktu pendek. Berbeda dengan as-Syafii. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Hendaknya dia lakukan salam dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai batas waktu yang jelas.’ (al-Muawwanah, 2/988).
Dalam madzhab Malikiyah, salam dilakukan dalam jangka waktu minimal setengah bulan. Dalam Bulghatus Salik – Fiqh Maliki – dinyatakan,
والحاصل أن السلم لا بد أن يؤجل بأجل معلوم، أقله نصف شهر
“Kesimpulannya, bahwa salam ada batas waktu tertentu, minimal 6 bulan.” (Bulghatus Salik, 3/172).
Demikian pula yang dinyatakan dalam al-Inshaf – kitab hambali –,
فإن أسلم حالاً، أو إلى أجل قريب كاليوم ونحوه لم يصح، وهو المذهب، وعليه الأصحاب
Jika ada orang melakukan salam dalam jangka waktu yang pendek, atau batas waktunya singkat, seperti sehari atau semacamnya, tidak sah. Inilah pendapat madzhab hambali dan yang ditegaskan para ulama madzhab kami. (al-Inshaf, 5/98)
Ketiga, larangan menjual barang yang belum dimiliki mencakup 2 hal,
[1] Menjual barang muayyan (tertentu) yang belum dimiliki
[2] Salam haal yang belum dimiliki. Namun jika sudah dimiliki, dalam arti sangat memungkinkan bagi penjual untuk menyerahkan barang itu, maka salam haal dibolehkan.
Yang dimaksud salam haal untuk yang sudah dimiliki adalah posisi barang mudah untuk didapatkan penjual, dan mudah baginya untuk mendatangkannya. Meskipun barang itu belum dibeli oleh penjual. Sehingga yang dimiliki adalah peluang besar untuk mendapatkan barang itu.
Sementara yang dimaksud salam haal belum memiliki, penjual sama sekali belum memiliki pandangan untuk barang yang diinginkan konsumen.
Syaikhul Islam menjelaskan,
فمعنى حديث حكيم بن حزام: لا تبع ما ليس عندك، أن يبيعه شيئاً موصوفاً حالاً، وهو لم يملكه، ويربح فيه قبل أن يدخل ضمانه، وقبل أن يكون قادراً على تسليمه، أما إذا باعه موصوفاً في الذمة حالاً، وهو عند بائعه قادراً على تسليمه، فلا حرج إن شاء الله تعالى
Makna hadis Hakim bin Hizam, jangan kamu menjual barang yang tidak kamu miliki, adalah menjual barang mausuf fi dzimmah dalam tempo singkat, sementara dia tidak memilkinya. Dia mengambil untung sebelum barang itu masuk dalam tanggungannya, dan dia belum memiliki kemampuan untuk menyerahkannnya. Namun jika jual mausuf fi dzimmah dalam tempo pendek, sementara penjual mampu untuk menyerahkannya, maka tidak masalah Insya Allah.
Beliau juga mengatakan,
أظهر الأقوال: أن الحديث لم يرد به النهي عن السلم المؤجل ولا الحال مطلقاً، وإنما أريد به النهي عن بيع ما في الذمة مما ليس مملوكاً له، ولا يقدر على تسليمه، ويربح فيه قبل أن يملكه، ويقدر على تسليمه
Pendapat yang lebih kuat, bahwa hadis tidak berisi larangan untuk akad salam muajjal (tempo lama) maupun salam haal secara mutlak. Namun larangan yang dimaksud adalah menjual barang dalam tanggungan yang tidak dimiliki, dan tidak mampu untuk diserahkan. Dia mengambil untung sebelum memilikinya, dan belum mampu untuk menyerahkannya. (Tafsir Ayat Asykalat ala Katsir minal ulama, 2/692)
Tarjih Pendapat
Dari tiga pendapat di atas – Allahu a’lam – yang lebih mendekati adalah pendapat Syafi’iyah. Bahwa alasan larangan dalam hadis Hakim, kembali kepada larangan menjual barang muayyan (tertentu). Sehingga jika barang itu tidak tertentu, kelimpahannya banyak di pasar, dibolehkan.
Kembali kepada illah larangan jual beli. Bahwa semua jenis transaksi yang dilarang dalam islam, bermuara kepada 3 hal,
[1] Ada unsur kedzaliman
[2] Gharar
[3] Riba
Jika kita perhatikan, alasan terbesar larangan dalam hadis Hakim adalah masalah gharar. Ketidak jelasan, apakah penjual bisa mendapatkan barang itu ataukah tidak, untuk selanjutnya diserahkan ke pembeli. Artinya, ketika peluang untuk mendapatkan barang itu besar, maka gharar semakin kecil. Sebaliknya, ketika peluang mendapatkan barang itu kecil, gharar semakin besar.
Dalam salam mu’ajjal (rentang waktu lama) dibolehkan, karena masa untuk mencari barang lebih lama. Artinya pelunga untuk mendapatkan barang itu lebih besar. Namun bukan berarti sebaliknya, ketika salam itu dilakukan dalam waktu singkat (salam al-Haal), peluang untuk mendapat barang menjadi hilang. Artinya, salam haal tidak ada gharar. dan gharar itu terjadi, ketika barang yang dijual adalah barang tertentu (muayyan). Sehingga barang mausuf fi dzimmah, itu disetarakan dengan barang yang berada dalam penguasaan kita, meskipun waktu akad belum ada. Inilah yang menjadi alasan Ibnul Qayim untuk mengatakan bahwa salam haal dibolehkan.
Beliau mengatakan,
ظن طائفة أن السلم مخصوص من عموم هذا الحديث – يعني حديث حكيم بن حزام – فإنه بيع ما ليس عنده، وليس كما ظنوه، فإن الحديث تناول بيع الأعيان، وأما السلم فعقد على ما في الذمة، بل شرطه أن يكون في الذمة، فلو أسلم في معين عنده كان فاسداً
Sekelompok orang menyangka bahwa salam dikecuali dari makna hadis Hakim bin Hizam. Karena salam termasuk menjual barang yang tidak dimiliki. Padahal sejatinya tidak sebagaimana yang mereka duga. Karena hadis Hakim ruang lingkupnya jual beli muayyan. Sementara Salam, akad untuk objek yang tertanggung. Bahkan syaratnya, objek harus tertanggung. Jika dia melakukan salam untuk barang tertentu yang dia miliki, maka akad salamnya batal. (Tahdzib as-Sunan, 9/299).
Demikian, Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
🔍 Qabliyah Ashar, Apa Itu Ilmu Hikmah, Kitab Setambul, Mimpi Sholat Berjamaah, Foto Jilbab Buka Aurat, Contoh Kultum Sederhana