Ketika Imam Tidak Fasih Membaca Al Fatihah
Pertanyaan:
Jika bacaan Al Fatihah imam tidak fasih dan banyak kesalahan, apakah shalatnya makmum batal dan tidak sah?
Jawaban:
Bismillah, alhamdulillah, ash shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.
Tidak diragukan lagi bahwa bacaan surat Al Fatihah adalah salah satu rukun shalat. Tidak sah shalat tanpanya. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari no.756, Muslim no.394).
Demikian juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
“Setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah no.693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).
Namun memang ada pembahasan tentang apakah makmum wajib membaca Al Fatihah juga dalam shalat jahriyah? Ini pembahasan yang lain.
Jika Imam Tidak Fasih Membaca Al Fatihah
Jika imam melakukan lahn (kesalahan bacaan) dalam membaca Al Fatihah, tidak serta-merta dihukumi tidak sah shalatnya. Karena kesalahan dalam bacaan Al Qur’an dibagi menjadi dua:
- Al lahnul khafiy, kesalahan yang ringan yang tidak sampai merusak makna ayat.
- Al lahnul jaliy, kesalahan yang berat yang merusak makna ayat.
Jika kesalahan yang dilakukan imam adalah lahn khafiy, maka shalatnya tetap sah, walaupun menjadi kurang sempurna. Adapun jika kesalahan yang dilakukan imam adalah lahn jaliy, inilah yang menjadi titik masalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya terkait hal ini, “apakah orang yang bacaan Al Fatihah-nya terdapat lahn (kesalahan) sahkah shalatnya atau tidak?”. Beliau menjawab: “jika lahn dalam membaca Al Fatihah itu tidak sampai mengubah makna maka sah shalatnya, baik ia imam atau munfarid. Semisal ia mengucapkan rabbil ‘alamin wadhallin atau semisalnya. Adapun bacaan semisal alhamdulillahi rabbul ‘alamin atau alhamdulillahi rabbal ‘alamin atau alhamdulullah dan alhamdilillah dengan lam di dhammah atau dal di-kasrah, atau juga ‘alaihim atau ‘alaihum atau semisal itu, ini semua tidak dianggap sebagai lahn. Adapun lahn yang mengubah makna, jika yang mengucapkan paham maknanya, semisal ia mengucapkan shiratalladzina an’amtu ‘alaihim dan ia paham bahwa dhamir di sini adalah mutakallim, maka tidak sah shalatnya. Jika ia tidak paham maknanya dan ia merasa bahwa dhamir-nya mukhathab maka ada khilaf mengenai keabsahan shalatnya. Wallahu a’lam”. (Al Fatawa Al Kubra, 2/185).
Lalu jika imam membaca Al Fatihah dengan lahn jaliy, maka perlu dirinci keadaannya. Sebagaimana penjelasan Ibnu Qudamah rahimahullah:
ومن ترك حرفا من حروف الفاتحة; لعجزه عنه، أو أبدله بغيره، كالألثغ الذي يجعل الراء غينا، والأرت الذي يدغم حرفا في حرف، أو يلحن لحنا يحيل المعنى، كالذي يكسر الكاف من إياك، أو يضم التاء من أنعمت، ولا يقدر على إصلاحه، فهو كالأمي، لا يصح أن يأتم به قارئ. ويجوز لكل واحد منهم أن يؤم مثله ; لأنهما أميان، فجاز لأحدهما الائتمام بالآخر، كاللذين لا يحسنان شيئا. وإن كان يقدر على إصلاح شيء من ذلك فلم يفعل، لم تصح صلاته، ولا صلاة من يأتم
“Siapa yang meninggalkan satu huruf saja dari Al Fatihah, karena tidak mampu membacanya, atau ia mengganti hurufnya dengan huruf lain, seperti orang yang cadel yang membaca ra’ dengan ghain, dan orang yang lidahnya kaku sehingga selalu menggabungkan satu huruf dengan huruf lain, atau melakukan lahn yang mengubah makna, seperti orang yang membaca iyyaka dengan iyyaki, atau membaca an’amta menjadi an’amtu, dan ia tidak mampu memperbaikinya, maka statusnya sama dengan orang yang ummi (tidak biasa membaca). Orang yang bisa membaca tidak sah bermakmum kepadanya. Namun orang yang semisal dia (yang ummi juga), boleh bermakmum kepadanya. Karena mereka semua ummi, sehingga boleh saling mengimami satu sama lain. Sama seperti orang yang tidak bisa membaca sama sekali. Namun jika ia mampu untuk memperbaikinya dan ia tidak melakukannya, maka tidak sah sama sekali shalatnya dan tidak sah shalat orang yang bermakmum kepadanya”.
Beliau juga mengatakan:
تكره إمامة اللحان، الذي لا يحيل المعنى، نص عليه أحمد. وتصح صلاته بمن لا يلحن ; لأنه أتى بفرض القراءة، فإن أحال المعنى في غير الفاتحة، لم يمنع صحة الصلاة، ولا الائتمام به، إلا أن يتعمده، فتبطل صلاتهما
“Dimakruhkan bermakmum kepada imam yang membaca dengan lahn yang tidak mengubah makna. Ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dan sah shalatnya bagi makmum yang tidak membaca dengan lahn, karena mereka telah menunaikan kewajiban membaca Al Fatihah. Jika lahn sampai mengubah makna namun terjadi pada selain bacaan Al Fatihah, maka tidak mempengaruhi keabsahan shalat dan juga tidak membatalkan keimaman, kecuali jika imam bersengaja melakukannya. Maka ketika itu batal shalat mereka semua” (Al Mughni, 3/29-32).
Kesimpulan dari penjelasan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah di atas, adalah sebagai berikut:
- Jika imam melakukan lahn pada Al Fatihah dan tidak sampai mengubah makna, sah shalatnya imam dan makmum.
- Jika imam melakukan lahn pada Al Fatihah dan sampai mengubah huruf atau mengubah makna, dan imam adalah orang awam yang tidak mampu memperbaiki bacaannya, maka:
- Sah shalatnya imam
- Sah shalatnya makmum yang keadaannya sama dengan si imam
- Tidak sah shalatnya makmum yang bisa membaca dengan benar
- Jika imam melakukan lahn pada Al Fatihah, dan sampai mengubah huruf atau mengubah makna, dan imam adalah orang yang sebenarnya mampu belajar dan mampu memperbaiki bacaannya, maka tidak sah shalatnya imam dan makmumnya.
Sebagian ulama, seperti ulama Malikiyah berpendapat bahwa shalat imam dan makmum tetap sah selama imam tidak bersengaja untuk membaca dengan lahn.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Yang perlu dilakukan adalah berusaha mencari masjid yang memiliki para imam yang bagus bacaannya, selamat dari lahn. Atau berusaha menasehati dan memperbaiki bacaan para imam di masjidnya dengan mengajaknya untuk belajar kembali tajwid dan tahsin Al Qur’an. Dan para pengurus masjid hendaknya berusaha memilih imam yang paling baik bacaannya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه قال الأشجُّ في روايتِه ( مكان سِلمًا ) سِنًّا
“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika pemahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”. Dalam riwayat Al Asyaj (bin Qais) disebutkan: “yang paling tua usianya” untuk menggantikan: “yang paling dahulu masuk Islam” (HR. Muslim no. 673).
Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah mengatakan: “Jika anda ingin shalat, maka pilihlah imam yang bagus bacaannya. Jika anda tahu imam anda tidak bagus bacaannya, yaitu ia membacanya dengan lahn yang mengubah makna, semisal iyyaki na’budu dengan kaf di-kasrah atau an’amtu dengan ta‘ di-dhammah atau di-kasrah, maka tidak boleh bermakmum padanya. Wajib bagi anda untuk memperingatkan dia, jika ia menerima alhamdulillah. Jika tidak, maka usahakan dengan sedemikian rupa agar ia diganti dengan imam yang lebih baik” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no.3193).
Jika terlanjur ada pada shalat jama’ah yang keadaan imamnya membuat shalat tidak sah sebagaimana rincian di atas, maka makmum hendaknya melakukan mufaraqah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya, “Andaikan makmum shalat bersama imam yang terlalu cepat sehingga membuat makmum tidak bisa melaksanakan kewajiban shalat, apakah ia keluar dari shalat dan shalat sendirian, yaitu berpisah dari imam?”. Beliau menjawab:
بل يجب عليه أن ينفصل عن الإمام، سواء في التراويح أو في الفريضة، فإذا أسرع سرعة تعجز أن تدرك معه الواجب، ففي هذه الحال نقول: انفصل، وانو الانفراد، وأتم وحدك
“Betul, wajib baginya untuk berpisah dari imam baik dalam shalat tarawih atau shalat lainnya. Jika imam terlalu cepat sehingga tidak bisa tercapai kewajiban shalat, maka dalam keadaan ini kami katakan: hendaknya memisahkan diri dari imam, niatkan shalat sendirian, dan selesaikan shalat dengan niat shalat sendirian” (Syarhul Mumthi’, 4/27).
Maka demikian juga makmum yang mendapati imamnya tidak sah shalatnya karena lahn dalam bacaan Al Fatihah-nya (dengan rincian di atas), maka ia meniatkan diri shalat sendirian.
Namun hendaknya seseorang tidak bersikap keras dan serampangan dalam masalah ini. Tidak boleh sembarang menuduh bahwa para imam masjid tidak sah shalatnya, karena adanya rincian-rincian yang harus diperhatikan. Demikian juga hendaknya seseorang bersemangat untuk memperbaiki bacaan para imam yang sudah ada, bukan semangat menuduh tidak sahnya shalat para imam atau mengajak jama’ah untuk meninggalkannya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika membahas masalah ini beliau menyampaikan wasiat:
فلا ينبغي للمؤمن أن يشدد في هذه المسائل، ولكن يجتهد في وصية أخيه بأن يحسن القراءة ويجودها حتى تكون قراءة حسنة جيدة ماشية على الطرق المتبعة والقواعد المعمول بها
“Hendaknya seorang Mukmin tidak bersikap keras dalam masalah ini. Namun hendaknya ia bersungguh-sungguh untuk memberi nasehat kepada saudaranya untuk memperbaiki bacaan sehingga bacaannya menjadi bacaan yang baik dan bagus sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan Al Qur’an” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi no.318).
Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- REKENING DONASI :
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451
🔍 Shalat Raghaib, Wallpaper Makam Nabi Muhammad, Kalimat Ijab Qobul Bahasa Arab, Kartun Kuburan Islam, Ibnu Arabi Sesat