Pertanyaan:
Ketika saya melewati sekumpulan orang, di antara mereka ada yang muslim dan ada juga nonmuslim. Apakah boleh saya mengucapkan salam kepada mereka? Karena setahu saya ada larangan mengucapkan salam kepada nonmuslim. Mohon pencerahannya.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Benar bahwa seorang muslim tidak boleh terlebih dahulu memberi ucapan salam kepada nonmuslim. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا تَبْدَؤُوا اليَهُودَ ولا النَّصارَى بالسَّلامِ
“Janganlah engkau mendahului orang Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam” (HR. Muslim no. 2167).
Namun jika orang nonmuslim mengucapkan salam, maka boleh menjawabnya dengan ucapan “wa’alaikum” saja. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
إذا سَلَّمَ علَيْكُم أهْلُ الكِتابِ فَقُولوا: وعلَيْكُم
“Jika ahlul Kitab mengucapkan salam kepada kalian maka ucapkanlah: wa’alaikum” (HR. Bukhari no. 6258, Muslim no.2163).
Al-Munawi rahimahullah menjelaskan, “Karena salam adalah bentuk pengagungan dan pemuliaan, sehingga tidak boleh mengagungkan dan memuliakan orang-orang kafir. Bahkan yang layak bagi mereka adalah berpaling dari mereka dan tidak melirik mereka sama sekali, dalam rangka merendahkan mereka. Maka diharamkan untuk memulai salam kepada mereka menurut pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’i. Namun mereka mewajibkan untuk menjawab salam dari orang kafir dengan mengatakan ”wa’alaikum” saja” (Faidhul Qadir, 6/386).
Adapun jika melewati sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan nonmuslim, maka dibolehkan untuk mengucapkan salam kepada mereka. Berdasarkan hadits dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم ركب حماراً عليه إكافٌ تحته قطيفة فدكية، وأردف وراءهُ أسامة بن زيد وهو يعود سعد بن عبادة في بني الحارث بن الخزرج – وذلك قبل وقعة بدر – حتى مرَّ في مجلس فيه أخلاطٌ من المسلمين والمشركين عبدة الأوثان واليهود، وفيهم عبدالله بن أبيِّ سلول، وفي المجلس عبدالله بن رواحة. فلما غشيت المجلس عجاجة الدابة خمَّر عبدالله بن أبيٍّ أنفه بردائه، ثم قال: لا تغبروا علينا. فسلم عليهم النبي صلى الله عليه وسلم ثم وقف فنزل فدعاهم إلى الله، وقرأ عليهم القرآن
“Suatu kala Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menaiki keledai yang berpelana dan di bawahnya ada kain selimut usang buatan Fadakiyah. Ketika itu Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau. Ketika itu Nabi hendak menjenguk Sa’ad bin Ubadah di perkampungan Bani Harits bin Khazraj sebelum perang Badr. Di tengah perjalanan, beliau melewati suatu majelis yang terdiri dari orang-orang muslim, orang-orang musyrikin penyembah berhala, dan orang-orang Yahudi. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Ubay dan Abdullah bin Rawahah. Ketika melihat debu bekas derap langkah kami, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan rida’, sambil berkata, “Janganlah kalian taburkan debu kepada kami!”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi salam kepada mereka, kemudian berhenti dan turun. Beliau mengajak mereka kepada Allah dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mereka” (HR. Bukhari no.6254, Muslim no.1798).
An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau mengatakan:
فيه جواز الابتداء بالسلام على قوم فيهم مسلمون وكفار، وهذا مجمع عليه
“Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya memulai salam kepada sekelompok orang yang terdapat kaum Muslimin dan orang kafir. Dan kebolehan hal ini disepakati oleh para ulama” (Syarah Shahih Muslim, 12/158).
Namun salam yang diucapkan kepada sekelompok orang yang terdiri dari kaum Muslimin dan penganut agama lain, itu diniatkan kepada orang-orang muslim saja. Para ulama dalam al-Lajnah al-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan, “Tidak diperbolehkan untuk memulai salam kepada orang kafir. Jika seseorang menemui sekelompok orang lain yang terdiri dari campuran antara orang muslim dengan kafir, maka boleh mengucapkan salam kepada mereka, dengan meniatkan salam tersebut untuk orang-orang muslim saja. Adapun membalas salam dari Ahlul Kitab adalah cukup dengan mengucapkan “wa’alaikum” saja” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta‘, 24/141-142).
Jika lawan bicara tidak diketahui apakah ia muslim atau nonmuslim
Adapun jika ada keraguan apakah lawan bicara adalah muslim ataukah nonmuslim, atau ketika melewati sekumpulan orang yang dimungkinkan semuanya adalah nonmuslim walaupun tidak pasti, maka sikap yang benar adalah tidak mengucapkan salam kepada mereka.
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan:
“Terdapat hadits yang memerintahkan salam kepada orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Namun ini khusus untuk sesama muslim. Atau kepada orang yang secara lahiriyah nampak sebagai muslim. Dan terdapat larangan untuk memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau mendahului orang Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam. Jika kalian bertemu mereka di jalan, maka biarkan mereka pada sisi tersempit”. Demikian juga beliau bersabda: “Jika ahlul Kitab mengucapkan salam kepada kalian maka ucapkanlah: wa’alaikum”.
Namun dahulu mereka hidup di masa yang terbedakan antara kaum Muslimin dengan selainnya dari sisi cara berpakaian dan penampilan lahiriyah. Dan dahulu orang-orang kafir dilarang menyerupakan diri dengan kaum Muslimin. Adapun di zaman ini, sangat disayangkan, banyak kaum Muslimin menyerupai orang kafir. Sehingga kita tidak bisa membedakan mana muslim dan mana nasrani. Karena mereka semua mirip cara berpakaiannya, masyaAllah! Mereka (para lelakinya) sama-sama menggunakan gelang-gelang, tidak menggunakan peci, atau justru memakai topi ala barat, sehingga samar perkaranya. Jika ada orang yang mengucapkan salam kepada Anda dan Anda merasa ragu apakah ia musyrikin atau bukan, maka ucapkan “wa’alaikum” saja. Dan jangan memulai salam kepada orang tersebut karena adanya keraguan tentang dia.
Jika ternyata ia muslim dan ia mengkritikmu (karena tidak salam), maka mintalah maaf karena tidak tahu ia muslim atau nasrani, karena ia tidak berpenampilan seperti seorang muslim. Dan karena ia lebih memilih berpenampilan seperti nasrani atau semisalnya. Sampaikan kepadanya bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia seolah bagian dari kaum tersebut”. Nasehati dia agar ia membedakan dirinya dengan orang kafir. Dan berhias seperti kaum Muslimin, sebagaimana ayah dan kakeknya terdahulu, serta para ulama kaum Muslimin. Jika ia tetap ngeyel untuk berpenampilan demikian, maka di dalam hati telah terdapat pengagungan terhadap orang-orang nasrani” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 18/55).
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulilllah, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK (Kode BSI: 451)
🔍 Shalat Sunnah Mutlak, Cara Menangkap Tuyul Menurut Islam, Pertanyaan Tentang Fiqih Muamalah, Nyepong Menurut Islam, Celana Merah, Hadist Rejeki