Kontemporer, Pernikahan, Problematika Rumah Tangga, WANITA

Siapa Mahram Saya?

Pertanyaan:

Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ustadz, setelah ibu meninggal, ayah menikah lagi dengan janda yang punya satu anak laki-laki. yang ingin saya tanyakan. Apakah saya bermuhrim dengan adik saya itu? selain itu, ibu baru ana itu punya beberapa adek laki-laki yang sebaya dengan ana. Apakah ana juga sudah termasuk muhrim mereka? ana masih menjaga jarak dengan mereka karena ragu. Jazakumullah khoiron atas jawabannya.

Jawaban Ustadz:

Penyebutan yang benar adalah “Mahram” (dalam bahasa arab: miim dan ra’ difathah) dan bukan “Muhrim”.
Karena “Muhrim” artinya adalah orang yang sedang berihram dalam ibadah haji atau umrah, adapun “Mahram” -secara ringkas- artinya adalah kerabat laki-laki (yang sudah dewasa) dari seorang perempuan yang tidak boleh (haram) menikah dengannya selamanya, seperti: ayah, saudara laki-laki (baik itu saudara kandung, seibu atau sebapak), paman dari ibu (saudara ibu), paman dari bapak (saudara bapak) dan lain-lain yang kedudukannya seperti mereka, termasuk dalam hal ini suami, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab: “Fathul baari”, “Faidhul qadiir”, “‘Aunul ma’buud”, “Tuhfatul ahwadzi” dan lain-lain.

Adapun sebab seseorang menjadi “Mahram” ada tiga, yaitu: An Nasab (pertalian keluarga), Ar Radhaa’ (persusuan) dan Al Mushaaharah (ikatan perkawinan). Dan yang berhubungan dengan pertanyaan ukhti di atas adalah sebab yang ketiga (Al Mushaaharah).

Pengertian Al Mushaaharah adalah hubungan antara dua orang dengan sebab adanya akad nikah, padahal keduanya sebelumnya tidak memiliki hubungan kekerabatan (keluarga), juga tidak hubungan persusuan. Dan orang-orang yang termasuk mahram karena Al Mushaaharah ini adalah:

Mahram bagi istri: ayah dari suami, termasuk kakek, buyut,… dst, berdasarkan firman Alloh ta’ala dalam QS. An Nisaa’: 23, yang dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla menyebutkan orang-orang yang tidak boleh (haram) untuk dinikahi, di antara mereka adalah:

وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu).” (QS. An Nisaa’: 23)

Demikian juga termasuk mahram bagi istri: anak laki-laki dari suami, termasuk cucu, cicit,… dst, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisaa’: 22)

Mahram bagi suami: ibu dari istri, termasuk nenek, buyut perempuan, …dst, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ

“Dan ibu-ibu istrimu (mertua).” (QS. An Nisaa’: 23)

Demikian juga anak perempuan dari istri, termasuk cucu perempuan, cicit, …dst, dengan syarat setelah suami mencampuri istrinya, barulah suami tersebut menjadi mahram bagi anak perempuan dari istrinya, berbeda dengan orang-orang yang disebutkan di atas, mereka itu menjadi mahram langsung setelah terjadi akad nikah meskipun suami tersebut belum mencampuri istrinya, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

“Dan anak-anak perempuan istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (untuk mengawini anak-anak perempuan tersebut).” (QS. An Nisaa’: 23)

Dan selain mereka yang disebutkan di atas tidak termasuk mahram dan halal untuk dinikahi.

Jadi anak laki-laki dan adik-adik laki-laki dari istri baru ayah ukhti, mereka itu semua BUKAN termasuk mahram ukhti, sehingga ukhti wajib memakai hijab dan menutup aurat di hadapan mereka, karena kedudukan mereka bagi ukhti sama seperti laki-laki asing lainnya. Keterangan di atas ana nukil dari “Asy Syarhul Mumti’” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatinya-.

***

Penanya: Winna
Dijawab Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim

Sumber: muslim.or.id

🔍 Hukum Mandi Junub Dengan Air Hangat, Cincin Emas Untuk Pria, Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha, Daun Bidara Cina, Cincin Perak Laki Laki, Ciri2 Malam Lailatul Qadar

QRIS donasi Yufid