Pertanyaan:
Mohon penjelasannya ustadz. Saya seorang akhwat. Dulu saya berkeyakinan bahwa ibu hamil dan menyusui itu cukup membayar fidyah ketika tidak puasa di bulan Ramadhan. Namun setelah saya pelajari lagi ternyata ada khilaf diantara ulama dan sekarang yang lebih yakin dengan pendapat yang mewajibkan qadha bukan membayar fidyah. Lalu bagaimana dengan puasa saya yang dulu hanya dibayar dengan fidyah saja, apakah perlu diganti? Syukran sebelumnya.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ashshalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Benar bahwa terdapat ikhtilaf di antara ulama tentang puasanya wanita hamil dan menyusui apakah diganti dengan qadha ataukah dengan membayar fidyah ataukah keduanya (qadha dan fidyah sekaligus).
Allah ta’ala berfirman:
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
“Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin” (QS. Al-Baqarah: 184).
Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Ketahuilah, tidak boleh seorang Mukmin yang terkena beban syariat untuk meninggalkan puasa, kecuali tiga golongan:
Pertama, mereka yang wajib meng-qadha dan juga wajib membayar fidyah.
Kedua, mereka yang wajib meng-qadha saja dan tidak membayar fidyah.
Ketiga, mereka yang membayar fidyah saja dan tidak meng-qadha.
Adapun yang wajib meng-qadha dan juga wajib membayar fidyah, mereka adalah wanita hamil dan menyusui jika khawatir kepada anak mereka. Maka mereka boleh meninggalkan puasa dan meng-qadha puasanya. Dan mereka berdua wajib meng-qadha sekaligus juga membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, Mujahid, dan juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i rahimahullah. Dan sebagian ulama mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tidak perlu membayar fidyah (hanya qadha saja). Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Atha, Ibrahim An-Nakha’i, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan merupakan pendapat Hanafiyah.
Adapun yang wajib meng-qadha saja dan tidak membayar fidyah, mereka adalah orang sakit, musafir, wanita haid dan nifas.
Adapun yang membayar fidyah saja dan tidak meng-qadha, mereka adalah orang yang sudah tua renta dan orang yang sakit dengan penyakit yang tidak diharapkan kesembuhannya” (Tafsir Al-Baghawi, 1/197).
Sebagian ulama, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan kebanyakan murid-murid beliau menguatkan pendapat yang menyatakan bahwasanya wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah saja tanpa meng-qadha. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
كانتْ رُخصةً للشيخِ الكبيرِ والمرأةِ الكبيرةِ، وهما يُطيقانِ الصيامَ، أنْ يُفطِرا، ويُطعِما مكانَ كلِّ يومٍ مسكينًا، والحُبْلى والمُرضِعُ إذا خافَتا
“Ada keringanan bagi orang tua renta, yang mereka tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Mereka mengganti setiap hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan orang miskin. Dan juga hamil dan wanita menyusui jika mereka khawatir” (HR. Abu Daud no. 2318, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth).
Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan:
عن ابن عباسٍ أو ابن عمرَ قال الحاملُ والمرضعُ تفطرُ ولا تقضِي
“Dari Ibnu Abbas atau Ibnu Umar, beliau berkata: Wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah dan tidak perlu meng-qadha” (HR. Ad-Daruquthni 2/435, ia berkata: “shahih”).
Namun kewajiban meng-qadha puasa bagi wanita hamil dan menyusui adalah pendapat 4 madzhab fikih. Mereka hanya berbeda pendapat apakah ada tambahan fidyah atau tidak selain qadha.
- Mazhab Syafi’i dan Hambali mewajibkan qadha dan fidyah jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada anaknya. Dan qadha saja jika khawatir pada diri sendiri.
- Mazhab Hanafi hanya mewajibkan qadha saja secara mutlak tanpa fidyah.
- Mazhab Maliki merinci. Wanita hamil mutlak wajib meng-qadha tanpa fidyah. Sedangkan wanita menyusui jika khawatir pada anak yang disusui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah, jika hanya khawatir pada diri sendiri, hanya qadha saja.
Maka pendapat yang kuat, wanita hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha puasa ketika sudah mampu puasa. Wajibnya qadha ini berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah: 184).
Dan wanita hamil atau menyusui itu semisal dengan orang yang sakit. Karena wanita hamil atau menyusui tidak selama-lamanya melainkan ia akan kembali normal lagi seperti biasa. Sebagaimana orang sakit. Sehingga wanita hamil atau menyusui itu wajib qadha. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:
“Wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukumnya orang sakit. Jika mereka mendapat kesulitan dengan berpuasa, mereka boleh untuk tidak berpuasa. Lalu mereka wajib untuk meng-qadha setiap harinya sesuai kemampuan mereka, sebagaimana orang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini yang sangat lemah. Yang benar, mereka wajib meng-qadha sebagaimana musafir dan orang sakit. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah: 184)
Hal ini juga berdasarkan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم
‘Allah ta’ala menggugurkan puasa dan sebagian shalat bagi musafir. Dan menggugurkan puasa dari wanita hamil‘ (HR. Al-Khamsah)” (Maj’mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi’ah, juz 15).
Sebagian ulama mutaakhirin juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللهَ وضع عن المسافرِ شطرَ الصلاةِ والصومَ عن المسافرِ وعن المرضعِ والحُبلَى
“Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah kewajiban shalat dari musafir, dan menggugurkan setengah kewajiban puasa dari orang hamil dan menyusui” (HR. An-Nasa’i no.2275, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i).
Maka sebagaimana musafir tidak gugur kewajiban shalatnya, demikian juga ibu hamil dan menyusui tidak gugur kewajiban puasanya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, “Dalam setiap keadaan, tetap wajib meng-qadha. Karena Allah ta’ala telah mewajibkan puasa kepada setiap muslim. Dan Allah ta’ala berfirman kepada musafir dan orang sakit:
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka gantilah di hari yang lain…”
Padahal musafir dan orang sakit boleh tidak puasa karena adanya udzur, namun qadha tidak gugur bagi mereka. Dengan demikian, orang yang mendapat udzur namun dalam keadaan santai itu min bab al-aula (lebih layak) untuk tidak gugur qadha-nya” (Syarhul Mumti’ Syarh Zaadil Mustaqni, 6/223).
Jika Berubah Pendapat Fikihnya
Jika dahulu meyakini bahwa ibu hamil dan menyusui itu cukup membayar fidyah karena mengikuti fatwa atau ijtihad ulama, lalu kemudian lebih yakin dengan pendapat yang mewajibkan qadha bukan membayar fidyah karena mengikuti ijtihad jumhur ulama, maka di sini berlaku kaidah fikih:
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“Ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad”
Sehingga puasa yang terdahulu sudah sah diganti dengan fidyah, karena telah dilakukan berdasarkan ilmu yang benar atas dasar ijtihad ulama yang diikutinya ketika itu. Adanya perubahan pandangan fikih sehingga sekarang mengikuti ijtihad ulama yang lain itu tidak membatalkan amalan yang terdahulu.
As-Suyuthi menjelaskan kaidah di atas:
الأصل في ذلك إجماع الصحابة رضي الله عنهم نقله ابن الصباغ وأن أبا بكر حكم في مسائل خالفه عمر فيها ولم ينقض حكمه ، وحكم عمر في المشركة بعدم المشاركة ثم بالمشاركة وقال ذلك على ما قضينا وهذا على ما قضينا
“Asal dari kaidah ini adalah ijma para Sahabat radhiyallahu’anhum, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Shabbagh. Dan juga Abu Bakar pernah menetapkan suatu hukum dalam suatu masalah, kemudian hukum tersebut diselisihi oleh Umar, namun Umar tidak membatalkan produk hukum dari apa yang diputuskan Abu Bakar. Dan juga, Umar pernah menyatakan bahwa orang musyrik tidak bisa ikut serta dalam musyarakah, lalu setelah itu beliau mengatakan boleh ikut serta dalam musyarakah. Kemudian beliau mengatakan: Itu sesuai dengan apa yang kami putuskan dahulu, adapun sekarang, sesuai dengan apa yang kami putuskan sekarang” (Al-Asybah wan Nazhair, 1/102).
Kaidah ini juga berlaku bagi orang awam atau muqallid yang awalnya lebih yakin dengan fatwa ulama A, kemudian setelah itu ia lebih yakin dengan fatwa ulama B dalam masalah ijtihadiyah. Syaikh Dr. Iyadh As-Sulami menjelaskan,
هي قاعدةٌ عامّةٌ صحيحةٌ، تُفيدُ أن المجتهدَ إذا أفتى، أو قضى قضاءً بناءً على اجتهادٍ، ثم تغيّر اجتهادُه؛ فإنه لا يَنقضُ حكمه السابق، ولا يرجعُ فيه بعدَ نفاذه، وكذلك إذا أفتى بفتوىً وعمل بها المقلِّدُ، فإن رجوعَه لا ينقُضُ فتواه التي اتّصلَ بها العملُ. ولا فرقَ في تطبيق القاعدة بين أنْ يكونَ اختلافُ الاجتهاد الثاني من المجتهد الأول، أو من غيره، بل إذا كان الاجتهاد المتأخِّرُ من غير المجتهد الأول، يكونُ أولى بعدم النقض
“Kaidah ini adalah kaidah umum yang benar. Kaidah ini memberi faedah bahwa jika seorang Mujtahid berfatwa atau memutuskan sebuah hukum dengan ijtihadnya, lalu ia berubah dalam ijtihadnya, maka ini tidak membatalkan produk hukum yang pertama. Dan tidak perlu ia mengubah produk hukum yang pertama setelah memberlakukan hukum yang kedua. Demikian juga, jika fatwanya diamalkan oleh seorang muqallid, perubahan ijtihadnya tidak membuat pengaruh pada amalan sang muqallid. Ini tidak ada bedanya apakah perubahan hukum tersebut dari mujtahid yang pertama ataupun dari mujtahid yang lain. Bahkan jika perubahan hukum itu datang dari mujtahid yang lain, ini lebih layak lagi untuk tidak gugur hukumnya.” (Ushulul Fiqhi alladzi La Yasa’ul Faqih Jahlahu, hal. 472).
Dewan Fatwa Islamweb juga menyatakan,
فالعامي إن استفتى عالما مجتهدا، فأفتاه، فعمل بقوله، ثم أفتاه مجتهد آخر بخلاف هذا القول: لم يلزمه نقض الأول؛ لأن الاجتهاد لا يُنقضُ بالاجتهاد
“Orang awam jika ia meminta fatwa kepada seorang ulama mujtahid, kemudian ia mendapatkan suatu fatwa dan mengamalkannya. Lalu pada masa-masa setelahnya ia meminta fatwa pada ulama mujtahid yang lain dan diberi fatwa dengan pendapat yang berbeda. Maka fatwa yang kedua tidak membatalkan amalan atas fatwa yang pertama. Karena kaidah: Ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad” (Fatwa Islamweb no. 322279).
Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui yang dahulu lebih yakin dengan pendapat yang menyatakan membayar fidyah saja, lalu sekarang lebih yakin dengan pendapat yang menyatakan meng-qadha puasanya, mereka tidak wajib meng-qadha puasa mereka yang terdahulu yang sudah diganti dengan fidyah.
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK (Kode BSI: 451)
🔍 Merapikan Alis Halal, Sam'un, Bercinta Dengan Istri Tetangga, Doa Setelah Tarawih Dan Dzikir, Ucapan Pindah Rumah Baru, Dalil Tugas Malaikat