Mari bersama untuk kehidupan kita kelak di akhirat.   BSI: 7086882242
a.n. Yayasan Yufid Network  

Seluruh dana untuk operasional produksi konten dakwah di Yufid: Yufid.TV, YufidEDU, Yufid Kids, website dakwah (KonsultasiSyariah.com, Yufid.com, KisahMuslim.com, Kajian.Net, KhotbahJumat.com, dll).

Yufid menerima zakat mal untuk operasional dakwah Yufid

AQIDAH

Prinsip Ahlus Sunah dalam Menyikapi Penyimpangan dan Kesalahan Ulama

السؤال

انا والحمدلله ربي قد هداني للسنة ، ولكن هناك شيء حيرني كثيرا . أولا : لماذا علماء كبار مثل النووي والبيهقي وابن حجر وقعوا في خطأ التأويل ، هل يعقل أنهم لم يقرؤوا كتب الحنابلة وأقوال السلف وخاصة الكتب المتقدمة مثل كتاب الإمام احمد والسنة لابنه والتمهيد لابن عبد البر؟ وثم لماذا نعدهم من أهل السنة مع أنهم خالفوهم في مثل هذه المسائل والبعض قد خالف أكثر من هذا مثل الإمام الغزالي فلماذا نعده من أهل السنة ؟ ثانيا : ما موقفنا من العلماء المعاصرين وكيف نحكم عليهم أنهم منحرفون أم لا ، يعني مثل الإمام الشعرواي معروف في فضله وعلمه لكن في مسألة القبور شطح وخالف خلافا عظيما فما موقفنا منه وكذا غيره من الأئمة المعروفين بنصحهم لدين الله كمحمد الغزالي ، وكيف نستطيع أن نميز بين أهل البدع والاهواء المنحرفين وبين من قصده النصح لله ولرسوله ولكن قد يخطئ مثل أي واحد من البشر 

Pertanyaan:

Alhamdulillah, Allah telah Membimbing saya kepada sunah, hanya saja, ada sesuatu yang sangat membingungkan saya:

Pertama:

Mengapa ulama besar seperti an-Nawawi, al-Baihaqi dan Ibnu Hajar terjatuh ke dalam kesalahan Taʾwīl, apakah mungkin mereka tidak membaca buku-buku mazhab Hanbali dan perkataan-perkataan para Salaf, terutama buku-buku klasik, seperti kitab Imam Ahmad, kitab as-Sunnah karya putranya, dan at-Tamhīd karya Ibnu Abdul Barr? Lalu, mengapa juga kita menganggap mereka sebagai Ahlus Sunah meskipun mereka menyelisihi Ahlus Sunah dalam beberapa permasalahan, dan bahkan sebagian mereka menyelisihi lebih banyak permasalahan dari itu, seperti Imam al-Ghazali, lantas, mengapa kita menganggap mereka sebagai Ahlus Sunah?

Kedua: 

Bagaimana sikap kita terhadap ulama kontemporer dan bagaimana cara kita menghukumi mereka apakah mereka menyimpang atau tidak, seperti Imam asy-Syaʿrāwi, yang dikenal dengan keutamaan dan keilmuannya, tetapi dalam masalah kuburan, dia menyelisihi dan sangat jauh dari kebenaran. Bagaimana sikap kita terhadapnya? 

Demikian juga imam-imam lain yang dikenal karena nasihat mereka kepada agama Allah, seperti Muhammad Al-Ghazali, dan bagaimana kita bisa membedakan antara ahli bidah dan pengikut hawa nafsu yang menyimpang dengan orang yang benar niatnya memberi nasihat untuk Tuhan dan Rasul-Nya, tetapi mungkin terjatuh dalam kekeliruan, seperti manusia yang lain.

ثالثا : هل مثل هؤلاء العلماء يعني الشعرواي ومحمد الغزالي وابن عاشور وغيرهم من العلماء هل يصح أن نأخذ منهم رغم مخالفاتهم؟ وإن كان نعم فمن هم الذين يجب علينا أن نحذر منهم وندع كتبهم ؟ رابعا : هل يصح في هذا العصر اثارة الخلاف على هذه المسائل والتحذير من العلماء وإثارة النزاعات بيننا وبين الاشاعرة وغيرهم وخاصة مع ضعف الإسلام وأمته أليس من الأبدى التركيز على الإصلاح الاجتماعي ومحاربة الفساد والالحاد..كما يقول البعض؟ وما موقفي من العامة ممن لديه مغالطات ويتبع علماء الضلال أو يتبع أهل الاشاعرة ولا يرضى بالسلفية وما حكم من يقول بان الاستغاثة بغير الله ليست شركاً هل يكفر؟ ويثير بعضهم الشبه بقول الله فارزقوهم منه. أرجو التبيان الكافي ولو دللتموني على كتاب موجود على الشبكة يؤصل مسالة التعامل مع المخالف وجزاكم الله خيرا

Ketiga:

Ulama-ulama seperti asy-Syaʿrāwi, Muhammad al-Ghazali, Ibnu ʿĀsyūr dan ulama lainnya, apakah dibenarkan kita mengambil ilmu dari mereka meskipun mereka memiliki kekeliruan? Jika iya, siapakah saja yang harus diwaspadai dan ditinggalkan kitab-kitabnya?

Keempat: 

Apakah dibenarkan di zaman ini untuk mengangkat kembali perbedaan pendapat dalam isu-isu tersebut dan peringatan-peringatan dari para ulama serta memunculkan perselisihan antara kita, Asyāʿirah dan lain-lain, terutama sekali dalam kondisi Islam dan umat Islam yang sedang berada di titik kelemahan? Bukankah ini adalah tanda yang paling jelas dalam upaya perbaikan masyarakat dan memerangi keburukan dan penyimpangan, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang?

Bagaimana sikap saya terhadap masyarakat awam yang memiliki kesalahan, mengikuti ulama sesat, menjadi pengikut Asyāʿirah, dan tidak suka dengan Salafi.

Apa hukum bagi mereka yang mengatakan bahwa istigasah kepada selain Allah tidak syirik, apakah dia kafir? Beberapa dari mereka melontarkan syubhat dengan berdalil dengan firman Allah (yang artinya), “… berilah mereka rezeki dari sebagian harta itu, …” (QS. An-Nisa’: 8) 

Saya berharap ada penjelasan yang mencukupi dan barangkali Anda bisa menunjukkan kepada saya rujukan kitab di internet yang menjelaskan prinsip-prinsip dalam bermuamalah dengan orang-orang yang menyelisihi syariat. 

Semoga Allah Membalas Anda dengan kebaikan.

Jawaban:

الحمد لله.

أولا:

من كان من أهل العلم المعظمين للكتاب والسنة، وخالف اعتقاد السلف في جملة من المسائل، كالبيهقي والغزالي، والنووي وابن حجر رحمهم الله، فذلك لتأويل أو تقليد، ومقصدهم الوصول للحق، وتنزيه الخالق سبحانه وتعالى، وقد يحصل لهم الوقوف على كلام السلف أو بعضهم، فيحملونه على التفويض، أو يتأولونه لقيام الدليل المخالف له في نظرهم واجتهادهم.

Alhamdulillah.

Pertama, di antara para ulama yang memuliakan al-Quran dan Sunah tapi menyelisihi akidah para Salaf dalam sejumlah masalah, seperti al-Baihaqi, al-Ghazali, an-Nawawi dan Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmati mereka— hal itu karena mereka keliru dalam memahami dalil atau taklid kepada ulama lain, tetapi maksud mereka adalah mencapai kebenaran dan Menyucikan Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Sebagian mereka terkadang sudah menelaah perkataan-perkataan Salaf, tapi dimaknai dengan Tafwīḏh atau ditakwil kepada makna-makna lain karena menurut ijtihad mereka ada dalil lain yang bertentangan dengannya.

قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه بعد ذكر جماعة من الأشاعرة كأبي بكر الباقلاني، وأبي المعالي الجويني، ومن تبعهما:

” ثم إنه ما من هؤلاء إلا من له في الإسلام مساع مشكورة وحسنات مبرورة , وله في الرد على كثير من أهل الإلحاد والبدع والانتصار لكثير من أهل السنة والدين ما لا يخفى على من عرف أحوالهم , وتكلم فيهم بعلم وصدق وعدل وإنصاف.

لكن لما التبس عليهم هذا الأصل المأخوذ ابتداء عن المعتزلة وهم فضلاء عقلاء احتاجوا إلى طرده والتزام لوازمه؛ فلزمهم بسبب ذلك من الأقوال ما أنكره المسلمون من أهل العلم والدين، وصار الناس بسبب ذلك منهم من يعظمهم لما لهم من المحاسن والفضائل، ومنهم من يذمهم لما وقع في كلامهم من البدع والباطل. وخيار الأمور أوسطها.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata setelah menyebutkan sejumlah ulama Asyāʿirah, seperti Abu Bakar al-Bāqilāni, Abul Maʿāli, dan al-Juwaini, serta orang-orang yang mengikuti mereka:

“Selain itu, tidak satu pun dari orang-orang ini kecuali mereka memiliki usaha terpuji dan amal kebajikan bagi agama Islam. Mereka juga membantah banyak orang-orang menyimpang dan ahli bidah serta membela Ahlus Sunah dan agama Islam. 

Hal tersebut tentu tidak samar bagi orang yang mengerti keadaan mereka dan mau menilai mereka berdasarkan ilmu, kejujuran, keadilan, dan moderasi. 

Namun, karena mereka salah dalam memahami kaidah ini—yang asal mulanya diadopsi dari sekte dari Muʿtazilah—padahal mereka adalah orang baik dan cerdas, lalu mereka bergantung dengan kaidah tersebut dan kukuh mengikuti berbagai konsekuensinya, maka sebab itulah mereka kemudian menelurkan pendapat-pendapat yang diingkari oleh ahli ilmu dan agama. 

Dari situlah sebagian orang ada yang memuliakan mereka karena keutamaan dan kebajikan mereka, dan sebagian lain menjelek-jelekkan mereka karena ada bidah dan kebatilan dalam perkataan-perkataan mereka. Hanya saja, sebaik-sebaik perkara adalah pertengahannya.

وهذا ليس مخصوصاً بهؤلاء، بل مثل هذا وقع لطوائف من أهل العلم والدين، والله تعالى يتقبل من جميع عباده المؤمنين الحسنات، ويتجاوز لهم عن السيئات، ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم (الحشر: 10).

ولا ريب أن من اجتهد في طلب الحق والدين من جهة الرسول صلى الله عليه وسلم، وأخطأ في بعض ذلك فالله يغفر له خطأه، تحقيقاً للدعاء الذي استجابه الله لنبيه وللمؤمنين حيث قالوا: ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا (البقرة: 286) ” انتهى من درء تعارض العقل والنقل (2/ 102).

وقد أثنى رحمه الله على كبار أئمة الأشاعرة كأبي الحسن الأشعري، والغزالي، والرازي، فيما أصابوا فيه السنة، وردوا به شبهات الفلاسفة والمعتزلة وغيرهم، ومن ذلك قوله عن أبي حامد الغزالي لما نسب التأويل للإمام أحمد:

Ini tidak khusus bagi mereka saja, karena hal ini juga terjadi pada sejumlah ahli ulama dan agama yang lain. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Menerima kebaikan dari semua hamba-Nya yang beriman dan Mengampuni kesalahan-kesalahan mereka. “Ya Tuhan kami, Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau Tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10) 

Tidak ada keraguan bahwa siapa pun yang berusaha untuk mencari kebenaran dan agama melalui jalur Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu keliru dalam hal itu, maka Allah akan Memaafkan kesalahannya, sebagai wujud realisasi doa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam untuk kaum mukminin yang telah Allah Kabulkan, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau Hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.” (QS. Al-Baqarah: 286). 

Selesai dari kutipan dari Darʿu Taʿāruḏh al-ʿAql wa an-Naql (2/102). 

Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— juga telah memuji para imam besar Asyāʿirah, seperti Abul Hasan al-Asy’ari, al-Ghazali, dan ar-Razi atas kebenaran mereka yang sesuai dengan sunah dan juga karena telah membantah syubhat-syubhat para filsuf, Muʿtazilah dan kelompok-kelompok lain. 

Di antara pujian tersebut adalah perkataannya —Semoga Allah Merahmatinya— tentang Abu Hamid al-Ghazali ketika ia mengklaim bahwa Imam Ahmad juga melakukan Taʾwīl:

“ولم يكن ممن يتعمد الكذب، كان أجلّ قدراً من ذلك، وكان من أعظم الناس ذكاء وطلباً للعلم وبحثاً عن الأمور، وكان من أعظم الناس قصداً للحق، وله من الكلام الحسن المقبول أشياء عظيمة، بليغة، ومن حسن التقسيم والترتيب ما هو به من أحسن المصنفين .

لكن كونه لم يصل إلى ما جاء به الرسول من الطرق الصحيحة ، كان ينقل ذلك بحسب ما بلغه، لاسيما مع هذا الأصل الفاسد؛ إذ جعل النبوات فرعاً على غيرها” انتهى، من بيان تلبيس الجهمية (6/ 127).

“Dia bukanlah orang yang sengaja berdusta. Dia terlalu mulia untuk melakukan itu. Dia adalah salah satu orang yang paling unggul dalam kecerdasan, menuntut ilmu, dan membahas berbagai masalah. 

Dia adalah salah satu orang yang paling antusias mencari kebenaran. Dia memiliki pendapat-pendapat yang baik yang dapat diterima dalam jumlah yang sangat besar dan sangat berpengaruh. 

Dia bisa membuat klasifikasi dan kategorisasi yang baik, yang dengannya dia menjadi salah satu dari penulis-penulis terbaik. 

Namun, karena dia belum bisa mendapatkan jalan kebenaran yang dibawa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka dia hanya menyampaikan sesuatu yang sampai kepadanya, apalagi dengan kaidah rusak yang dia adopsi, karena menjadikan masalah nubuat sebagai masalah cabang atas masalah-masalah yang lainnya.” 

Selesai kutipan dari Min Bayān Talbīs al-Jahmiyyah (6/127). 

وقال الإمام الذهبي رحمه الله :

” وَلَوْ أَنَّ كُلَّ مَنْ أَخْطَأَ فِي اجْتِهَادِهِ – مَعَ صِحَّةِ إِيْمَانِهِ، وَتَوَخِّيْهِ لاتِّبَاعِ الحَقِّ – أَهْدَرْنَاهُ، وَبَدَّعنَاهُ، لَقَلَّ مَنْ يَسلَمُ مِنَ الأَئِمَّةِ مَعَنَا، رَحِمَ اللهُ الجَمِيْعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ.” انتهى ، من “سير أعلام النبلاء” (14/376) ، وينظر أيضا : (14/40) منه .

وانظر: جواب السؤال رقم (107645) في موقف علمائنا من النووي وابن حجر رحمهما الله.

وينظر أيضا للأهمية جواب السؤال رقم (291372) .

Imam az-Zahabi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Jika setiap orang yang membuat kesalahan dalam ijtihadnya—padahal imannya benar dan telah berusaha mengikuti kebenaran—ditinggalkan dan dibidah-bidahkan, niscaya hanya tersisa sedikit imam-imam yang ada bersama kita. Semoga Allah Merahmati semua orang dengan karunia dan kedermawanan-Nya.” Selesai kutipan dari Siyar Aʿlām an-Nubalāʾ (14/376) dan lihat juga di bagian (14/40). 

Lihat juga jawaban pertanyaan no. 107645 tentang sikap ulama kita terhadap Imam Nawawi dan Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmati mereka.

Penting juga untuk dibaca jawaban soal no. 291372.

ثانيا:

الأشاعرة يعدّون من أهل السنة والجماعة عند النظر إلى مثل المعتزلة والرافضة وغيرهم، بل هم أهل السنة والجماعة في البلاد التي يكون أهل البدع فيها هم المعتزلة والرافضة ونحوهم.

قال شيخ الإسلام رحمه الله عن الأشاعرة: ” ومباحثهم في مسألة حدوث العالم والكلام في الأجسام والأعراض هو من الكلام الذي ذمه الأئمة والسلف، حتى قال محمد بن خويز منداد: أهل البدع والأهواء عند مالك وأصحابه هم أهل الكلام ؛ فكل متكلم في الإسلام فهو من أهل البدع والأهواء ، أشعريًّا كان أو غير أشعري.

Kedua, Asyāʿirah dianggap bagian dari Ahlus Sunah wal Jamaah jika dibandingkan dengan sekte seperti Muʿtazilah, Syiah Rāfiḏah dan lain-lain. Asyāʿirah juga dianggap bagian dari Ahlus Sunah wal Jamaah di negara-negara di mana ahli bidahnya adalah Muʿtazilah, Syiah Rāfiḏah dan kelompok lain yang seperti mereka. 

Syaikhul Islam —Semoga Allah Merahmatinya— berkata tentang Asyāʿirah, “Diskursus mereka tentang masalah terjadinya semesta dan pembahasan mereka tentang jisim dan Aʿrāḏh adalah pembahasan yang dicela oleh para imam dan ulama Salaf, sampai-sampai Muhammad bin Khawiz Mindad berkata bahwa ahli bidah dan pengekor hawa nafsu menurut imam Malik dan para sahabatnya adalah para Ahlul Kalam. Orang Islam Ahlul Kalam adalah ahli bidah dan pengekor hawa nafsu, baik dia bermazhab Asy’ari atau bukan.

وذكر ابن خزيمة وغيره أن الإمام أحمد كان يحذر مما ابتدعه عبد الله بن سعيد بن كلاب وعن أصحابه كالحارث ؛ وذلك لما علموه في كلامهم من المسائل والدلائل الفاسدة، وإن كان في كلامهم من الأدلة الصحيحة ، وموافقة السنة ، ما لا يوجد في كلام عامة الطوائف .

فإنهم أقرب طوائف أهل الكلام إلى السنة والجماعة والحديث، وهم يعدّون من أهل السنة والجماعة عند النظر إلى مثل المعتزلة والرافضة وغيرهم، بل هم أهل السنة والجماعة في البلاد التي يكون أهل البدع فيها هم المعتزلة والرافضة ونحوهم” انتهى من بيان تلبيس الجهمية (3/ 536).

وانظر: جواب السؤال رقم (226290).

وانظر أيضا للفائدة جواب السؤال رقم (256198).

Ibnu Khuzaimah dan yang lainnya juga mengatakan bahwa Imam Ahmad memperingatkan orang-orang terhadap bidah yang dibuat oleh Abdullah bin Saʿīd bin Kullāb dan para sahabatnya, seperti al-H̱ārits, karena perkataan-perkataan mereka mengajarkan permasalahan-permasalahan dan argumen-argumen yang rusak, walaupun sebagian perkataan-perkataan mereka adalah dalil yang sahih dan sesuai dengan sunah yang tidak ditemukan dalam perkataan-perkataa kelompok lain. Mereka adalah kelompok Ahlul Kalam yang paling dekat kepada dari Ahlus Sunah wal Jama’ah wal Hadits. Mereka dianggap bagian dari Ahlus Sunah wal Jamaah jika dibandingkan dengan sekte seperti Muʿtazilah, Syiah Rāfiḏah dan lain-lain, bahkan mereka adalah Ahlus Sunah wal Jamaah di negara-negara di mana ahli bidahnya adalah dari kalangan Muʿtazilah, Syiah Rāfiḏah dan yang seperti mereka. Selesai kutipan dari Min Bayān Talbīs al-Jahmiyyah (3/536). 

Lihat juga jawaban soal no. 226290. Untuk tambahan faedah, silahkan lihat jawaban soal no. 256198.

ثالثا:

العلماء والدعاة المعاصرون كالشيخ الشعراوي والشيخ محمد الغزالي، يُعرف لهم علمهم وفضلهم، ولا يقرون على ما خالفوا فيه السنة، فيبين خطؤهم بعلم وإنصاف، ويذكر ما لهم من الفضائل والحسنات، ويستفاد مما أصابوا فيه في التفسير وغيره، ولا يترك صوابهم لخطئهم، لكن من كثر الخطأ في كلامه ، فلا ينبغي أن يقرأ له إلا المتمكن القادر على معرفة الخطأ، ورد الشبهة.

فالعالم والداعية إذا كان معظما للكتاب والسنة، ثم خالفهما لاجتهاد أو تقليد، فإنه يلتمس له العذر، ويستفاد منه فيما أصاب فيه.

وأما أصحاب البدع المغلظة، المفارقون للكتاب والسنة كالخوارج، والمعتزلة، والرافضة ، والإباضية ، فالأصل أن يحذّر منهم، وينفّر عنهم، لئلا يغمسوا الناس في أهوائهم، ويفتموهم بشبهاتهم.

Ketiga, para ulama dan dai kontemporer, seperti syekh asy-Syaʿrāwi dan syekh Muhammad al-Ghazali, mereka dikenal karena keilmuan dan keutamaan mereka. Meskipun demikian pendapat mereka yang menyelisihi sunah tetap tidak dapat dibenarkan. Kesalahan mereka harus dijelaskan dengan ilmu dan moderasi dengan tetap menyebutkan kebajikan dan kebaikan mereka. Kebenaran mereka dalam tafsir atau dalam bidang lain bisa diambil faedahnya sehingga yang benar tidak ditinggalkan karena kesalahan mereka. 

Hanya saja, orang yang banyak salah dalam perkataannya, maka tidak boleh belajar darinya kecuali oleh orang yang sudah kokoh dan mampu mengetahui kesalahan dan menanggapi syubhat. Orang yang berilmu dan pendakwah jika dia memuliakan al-Quran dan Sunah, lalu dia menyelisihi keduanya karena ijtihadnya atau taklid, maka kita maklumi kesalahannya dan kita ambil faedah dari kebenarannya. Adapun para pengusung bidah yang parah, yang meninggalkan al-Quran dan Sunnah, seperti Khawarij, Muʿtazilah, Syiah Rāfiḏah, dan Ibāḏiyah, maka pada dasarnya orang-orang harus diperingatkan dari bahaya mereka dan dijauhkan dari mereka agar orang-orang tidak tenggelam dalam hawa nafsu mereka dan tercebur dalam syubhat-syubhat mereka.

قال ابن القيم رحمه الله :

“من قواعد الشرع ، وَالْحكمَة أيضا : أن من كثرت حَسَنَاته وعظمت ، وَكَانَ لَهُ فِي الإسلام ، تَأْثِير ظَاهر : فَإِنَّهُ يُحْتَمل لَهُ مَالا يُحْتَمل لغيره ، ويُعفى عَنهُ مَالا يُعفى عَن غَيره .

فَإِن الْمعْصِيَة خبث ؛ وَالْمَاء إِذا بلغ قُلَّتَيْنِ لم يحمل الْخبث ؛ بِخِلَاف المَاء الْقَلِيل ، فَإِنَّهُ يحمل ادنى خبث يقع فيه ” . انتهى ، من “مفتاح دار السعادة” (1/504) ط عالم الفوائد .

والنصيحة لك أن تتدارس ، على أناة وروية ، الرسالة العظيمة : “رفع الملام عن الإئمة الأعلام” ، لشيخ الإسلام ابن تيمية ، وأن تستمع شيئا من شروحها ، مثل شرح فضيلة الشيخ يوسف الغفيص ، حفظه الله .

Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salah satu kaidah syariat dan termasuk bentuk hikmah juga adalah bahwa orang yang memiliki banyak kebaikan dan pengaruh nyata dalam Islam, maka dia dimaklumi tidak seperti orang lain dimaklumi dan dimaafkan tidak seperti orang lain dimaafkan. Maksiat memang buruk, tapi air jika sudah mencapai dua Qullah, maka tidak akan mengandung najis. Berbeda halnya dengan air yang sedikit, ia akan mengandung najis sekecil apapun najis yang jatuh ke dalamnya.” Selesai kutipan dari Miftāẖ Dār as-Saʿādah (1/504) terbitan ʿĀlam al-Fawāʾid. 

Sebuah nasihat untuk Anda, pelajarilah dengan sabar dan perlahan sebuah risalah fenomenal “Rafʿu al-Malām min Aʾimmati al-Aʿlām” karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dengarlah sebagian penjelasannya, seperti syarah dari syekh Yusuf al-Ghafis —Semoga Allah Merahmatinya.

رابعا:

ينبغي أن يحرص المسلمون على وحدة الكلمة، والتآلف والتكاتف في مواجهة أعدائهم، دون تمييع القضايا، أو جعل الباطل حقا، وإنما يكون التناصح والتحاور بينهم في مسائل الخلاف قائما على العدل والإحسان ومراعاة حقوق الأخوة الإيمانية، والبعد عن البغي والظلم وإهدار الحقوق لأجل الخلاف.

وأيضا فإن كثيرا من مسائل الخلاف لا يحسن إيرادها للعامة، وإنما يخاطبون بالجمل والأصول، ولا يثار أمامهم ما يكون سببا في النزاع والشقاق.

وقد سبق بيان هذا المعنى بشيء من التفصيل في جواب السؤال رقم (230339).

Keempat, kaum muslimin harus bersemangat untuk menyatukan barisan dan bersinergi dan bahu-membahu menghadapi musuh-musuh mereka, tanpa meremehkan berbagai pertimbangan maupun menganggap yang batil sebagai kebenaran, melainkan harus mengedepankan nasihat dan dialog di antara mereka dalam masalah-masalah yang diperselisihkan atas dasar moderasi dan kebaikan serta memperhatikan hak-hak saudara seiman, dan menjauhi sikap melampaui batas, zalim, dan menelantarkan hak-hak mereka hanya karena perbedaan pendapat. 

Demikian juga, ada sebagian masalah yang diperselisihkan yang tidak layak disampaikan kepada orang awam, melainkan disampaikan secara umum dan intinya saja. Jangan pula disebarkan kepada mereka sesuatu yang bisa memprovokasi perselisihan dan perpecahan. Hal ini telah dijelaskan sedikit lebih terperinci dalam jawaban atas pertanyaan no. 230339.

خامسا:

الواجب مع العوام الذين يقلدون أهل البدع والأهواء، أن يناصحوا، وأن يُدعوا إلى طلب العلم، ومعرفة الحق، ونبذ التعصب، وأن يسلك معهم مسلك التأليف والتقريب، لا العداوة والخصومة، فإنهم متى آنسوا قربا من الداعية أحبوه ولانوا له وأخذوا بقوله.

سادسا:

دعاء الأموات والاستغاثة بهم شرك بالله تعالى، كما دل عليه القرآن في مواضع.

وينظر: جواب السؤال رقم (153666) ورقم (227935) ورقم (181206).

Kelima, kewajiban kita terhadap orang awam yang taklid kepada ahli bidah dan hawa nafsu adalah menasihati dan mengajak mereka untuk menuntut ilmu dan mengetahui kebenaran, meninggalkan fanatisme, serta membersamai mereka dengan santun dan pendekatan persuasif, bukan dengan memusuhi dan melawan, karena mereka ketika sudah merasa nyaman dekat dengan seorang pendakwah, niscaya mereka akan mencintainya, lunak kepadanya, dan mengikuti ucapannya.

Keenam, berdoa kepada orang mati dan beristigasah kepada mereka adalah perbuatan syirik terhadap Allah Subẖānahu wa Taʿālā, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Quran dalam banyak ayat. Lihat jawaban atas pertanyaan no. 153666, 227935, dan 181206.

والمنازع في هذا إن كان متأولا أو مقلدا فهو معذور، ولا يكفر إلا من قامت عليه الحجة الرسالية التي يكفر تاركها .

قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: ” وليس لأحد أن يكفر أحدا من المسلمين ، وإن أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك؛ بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة ، وإزالة الشبهة” انتهى من مجموع الفتاوى (12/ 466).

ولا حجة لمن جوز الاستغاثة في قوله تعالى: وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا النساء/8

Orang yang menyelisihi hal ini, jika dia salah dalam memahami dalil atau sekadar taklid, maka dia dimaafkan dan tidak dikafirkan, kecuali jika hujah berdasarkan risalah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah ditegakkan kepadanya sehingga orang yang mengingkarinya sudah bisa divonis kafir. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Tidak ada seorang pun yang boleh mengafirkan seorang muslim walaupun dia salah dan keliru sampai ditegakkan hujah kepadanya dan dijelaskan kekeliruannya. Orang yang sudah ditetapkan keislamannya secara yakin, maka statusnya tidak bisa dihilangkan karena sesuatu yang masih meragukan. Statusnya tetap, kecuali setelah hujah ditegakkan dan syubhat dihilangkan.” Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā (12/466).

Tidak ada dalil bagi orang yang membolehkan istigasah kepada orang meninggal dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Apabila (saat) pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, berilah mereka rezeki dari sebagian harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisa’: 8)

فالرزق هنا معناه العطية، أي أعطوهم من المال الذي حضروا قسمته.

قال ابن الجوزي رحمه الله: ” فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ أي: أعطوهم منه، وقيل: أطعموهم .

وهذا على الاستحباب عند الأكثرين، وذهب قوم إِلى أنه واجب في المال، فإن كان الورثة كباراً، تولوا إِعطاءهم، وإِن كانوا صغاراً تولّى ذلك عنهم وليّ مالهم، فروي عن عبيدة أنه قسم مال أيتام، فأمر بشاة، فاشتريت من مالهم، وبطعام فصنع، وقال: لولا هذه الآية لأحببت أن يكون من مالي، وكذلك فعل محمّد بن سيرين في أيتامِ ولِيَهم، وكذلك روي عن مجاهد: أن ما تضمّنتْه هذه الآية واجب” انتهى من زاد المسير (1/ 375).

Rezeki di sini maknanya pemberian, artinya “Berilah rezeki berupa sebagian harta kepada mereka yang menghadiri pembagian harta tersebut.” Ini hukumnya sunah menurut mayoritas ulama. Sebagian mereka menganggapnya sebagai bagian harta yang wajib disedekahkan. Jika ahli warisnya sudah dewasa, maka mereka yang memberikan harta tersebut, tetapi jika ahli warisnya masih kecil, maka wali yang mengurusi harta tersebut yang memberikannya sebagai wali mereka.

Diriwayatkan dari Ubaidah bahwa dia membagi harta anak yatim, lalu dia menyuruh dibelikan seekor domba, maka dibelikanlah domba dan sejumlah makanan dari uang mereka lalu diolah. Dia berkata, “Jika bukan karena ayat ini, aku lebih suka membelinya dengan hartaku sendiri.” Muhammad bin Sirin juga melakukan hal serupa terhadap anak-anak yatim yang berada di bawah perwaliannya. Diriwayatkan juga dari Mujahid bahwa perintah yang terkandung dalam ayat ini hukumnya wajib. Selesai kutipan dari Zâd al-Masîr (1/375).

فليس في الآية إلا تسمية العطية رزقا، ونسبة الرزق إلى المخلوق المعطي، والمخلوق ينسب إليه الرزق فيما يقدر عليه ، كما قال تعالى: وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ الحج/58، لكن لا يجوز طلب الرزق ، أو الاستغاثة بأحد دون الله ، إلا إذا كان حيا ، فيما يقدر عليه.

فإن أريد أن سؤال الميت من باب المجاز، وأنه يشرع سؤاله على ذلك، كان هذا فتحا لباب الشرك على مصراعيه، وأن يقول المسلمون: يا محمد يا أبا بكر يا عمر يا عثمان يا علي يا طلحة، يا جبريل يا ميكائيل، وهم يريدون يا رب محمد ورب أبي بكر إلخ !!

Dalam ayat tersebut hanya menyebut pemberian dengan istilah ‘rezeki’, yang disandarkan kepada makhluk yang memberikannya. Rezeki yang disandarkan kepada makhluk ini hanya sekadar yang dia mampu, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki?” (QS. Al-Hajj: 58) 

Namun, tidak diperbolehkan meminta rezeki atau beristigasah (meminta pertolongan) kepada siapa pun selain Allah, kecuali pada perkara yang dia mampu dan dalam keadaan dia masih hidup. Jika yang dimaksud adalah meminta kepada orang mati secara majaz dan dianjurkan melakukannya, dengan seseorang muslim mengatakan, “Wahai Muhammad! Wahai Abu Bakar! Wahai Umar! Wahai Utsman! Wahai Ali! Wahai Talhah! Wahai Jibril! Wahai Mikail! … ” sementara maksudnya adalah “Wahai Tuhan Muhammad! Wahai Tuhan Abu Bakar! ….” dan seterusnya, maka hal ini tentu membuka pintu lebar pintu kesyirikan!! 

وهل يجيز هذا من يعرف دين الإسلام، ويعرف قوله تعالى: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ البقرة/186 .

على أن كثيرا من المستغيثين ، بل غالبهم ، لا يعرفون مجازا ولا كناية ، ولا يرومون بقولهم ذلك ، إنما هم يريدون من الميت نفسه، ويزعمون أن الله أعطاه التصرف، أو أنهم يسألون الأموات، والأموات يقربونهم إلى الله زلفى، كما كان يعتقد أهل الجاهلية.

Apakah hal ini diperbolehkan oleh yang mengerti agama Islam dan memahami firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186) 

على أن كثيرا من المستغيثين ، بل غالبهم ، لا يعرفون مجازا ولا كناية ، ولا يرومون بقولهم ذلك ، إنما هم يريدون من الميت نفسه، ويزعمون أن الله أعطاه التصرف، أو أنهم يسألون الأموات، والأموات يقربونهم إلى الله زلفى، كما كان يعتقد أهل الجاهلية.

قال في كشاف القناع في باب حكم المرتد (6/ 168): ” أو جعل بينه وبين الله وسائط ، يتوكل عليهم ، ويدعوهم ، ويسألهم ؛ إجماعا انتهى) : أي كفر؛ لأن ذلك كفعل عابدي الأصنام قائلين: ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى [الزمر: 3] ” انتهى.

Padahal kebanyakan orang yang beristigasah itu, bahkan sebagian besar mereka, tidak mengerti apa itu majaz dan metafora, pun mereka mengatakannya juga tidak bermaksud demikian, melainkan memang bermaksud meminta kepada si mayat itu sendiri dengan meyakini bahwa Allah Memberinya kekuasaan kepadanya atau mereka meminta kepada si mayat karena meyakini bahwa dia bisa mendekatkan mereka kepada Allah sedekat-dekatnya, sebagaimana yang diyakini orang-orang jahiliah. 

Disebutkan dalam Kasyāf al-Qināʿ bab Hukum orang yang murtad (6/168), “… atau menjadikan perantara antara dia dan Allah, yang kepadanya dia bertawakal, berdoa, dan meminta, (maka dia kafir) secara ijmak.” Selesai kutipan. Hal itu karena perbuatan itu seperti perbuatan para penyembah dahulu berhala yang mengatakan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3).

والمجيزون للاستغاثة الشركية لهم شبهات كثيرة، أجاب عنها أهل العلم، وينصح بالرجوع إلى:

1-صيانة الإنسان عن وسوسة الشيخ دحلان، للعلامة محمد بشير السهسواني.

2-هذه مفاهيمنا، للشيخ صالح بن عبد العزيز آل الشيخ.

ويمكنك الاستفادة في موضوع التعامل مع المخالف، من كتاب “دعوة أهل البدع” للشيخ خالد بن أحمد الزهراني، وهو موجود على الشبكة.

وأيضا كتاب : “منهج أهل السنة في النقد والحكم على الآخرين” ، لهشام بن إسماعيل الصيني .

والله أعلم.

Orang yang membolehkan bentuk istigasah yang syirik ini membawakan banyak syubhat, yang telah dijawab oleh para ahli ilmu. Maka dari itu, disarankan untuk merujuk ke kitab:

  1. Ṣiyānatu al-Insān ʿan Waswas asy-Syaikh Daẖlān, karya al-ʿAllāmah Muhammad Basyir Al-Sahsawāni.
  2. Hadzihi Mafāhimunā, karya syekh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh.

Tentang masalah bermuamalah dengan orang-orang yang menyelisihi syariat, maka Anda bisa mengambil faedah dari kitab Daʿwatu Ahli al-Bidaʿ karya syekh Khalid bin Ahmad az-Zahrāni, yang tersedia di Internet. Ada juga kitab Manhaj Ahlus Sunnah fī an-Naqd wa al-H̱ukmi ʿalā al-Ākharīn, karya Hisyam bin Ismail aṣ-Ṣīni. 

Allah Yang lebih Mengetahui.

Sumber:

https://islamqa.info/ar/answers/289620/التعامل-مع-المخالف-والتماس-العذر-للاشاعرة-كالبيهقي-والنووي-وابن-حجر

PDF Sumber Artikel

***

URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV

Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur.

Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke:

BANK SYARIAH INDONESIA 
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi)

PayPal: [email protected]

Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini:

إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ

Artinya: 

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)

Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?

🔍 Sawu Sufufakum, Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Doa Perlindungan Untuk Anak Perempuan, Keluar Mani Dengan Sengaja, Doa Istighfar Setelah Sholat, Tata Cara Wudhu Nabi

Visited 46 times, 1 visit(s) today

QRIS donasi Yufid