Pertanyaan:
Apakah ketika melakukan tawaf di Ka’bah harus dalam keadaan suci dari hadas? Apakah untuk melakukan tawaf harus berwudu terlebih dahulu?
Jawaban:
Alhamdulillah, ash-salatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,
Tentang disyaratkannya kondisi suci dalam melakukan tawaf, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mempersyaratkan kondisi suci untuk melakukan tawaf, atau dengan kata lain, orang yang hendak tawaf wajib berwudu terlebih dahulu. Di antara dalilnya, hadis dari Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطَّوافُ حَولَ البيتِ مِثلُ الصَّلاةِ، إلَّا أنَّكم تتكلَّمونَ فيه، فمن تكلَّمَ فيه فلا يتكَلَّمنَّ إلَّا بخيرٍِ
“Tawaf di sekitar Ka’bah seperti salat, namun di dalamnya dibolehkan bicara. Siapa yang berbicara ketika tawaf maka jangan berbicara kecuali yang baik” (HR. At-Tirmidzi no.960, An-Nasai no. 2922, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).
Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa tawaf itu seperti salat, sedangkan salat itu disyaratkan dalam kondisi suci dan harus berwudu terlebih dahulu. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تقبَلُ صلاة بغَير طُهورٍ
“Salat seseorang tidak diterima jika tanpa bersuci” (HR. Muslim no. 224)
Demikian juga hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata:
أوَّلُ شيءٍ بدأ به حين قَدِمَ مكَّة أنه توضَّأَ ثم طاف بالبيتِ
“Perkara pertama yang Rasulullah lakukan ketika tiba di Makkah adalah berwudu kemudian tawaf di Baitullah” (HR. Bukhari no.1641, Muslim no.1235).
Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah yang datang haid ketika berhaji:
افعلي ما يفعَلُ الحاجُّ، غيرَ أن لا تطوفي بالبيتِ، حتَّى تطْهُرِي
“Wahai Aisyah, silakan lakukan semua kewajiban haji, kecuali tawaf di Baitullah, sampai engkau suci” (HR. Muslim no.1211).
Kemudian pendapat yang kedua mengatakan bahwa tidak disyaratkan kondisi suci atau berwudu untuk melakukan tawaf. Ini pendapat Hanafiyah, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Argumen mereka adalah karena tidak ternukil satu riwayat pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan berwudu untuk melakukan tawaf. Demikian juga qiyas terhadap rukun-rukun haji yang lain yang tidak diwajibkan berwudu terlebih dahulu.
Wallahu a’lam, argumen jumhur ulama lebih kuat karena didasari oleh dalil-dalil yang kuat. Terutama perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah:
افعلي ما يفعَلُ الحاجُّ، غيرَ أن لا تطوفي بالبيتِ، حتَّى تطْهُرِي
“Wahai Aisyah, silakan lakukan semua kewajiban haji, kecuali tawaf di Baitullah, sampai engkau suci” (HR. Muslim no.1211).
Sedangkan qiyas, tidak digunakan ketika sudah ada dalil. Sebagaimana kaidah:
ﻻ قياس مع النص
“Tidak ada qiyas ketika sudah ada nash“.
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili.
Tawafnya wanita haid karena darurat
Wanita sedang haid asalnya tidak boleh dan tidak sah melakukan tawaf sebagaimana dalam hadis Aisyah di atas. Namun dalam kondisi darurat, diperbolehkan baginya untuk tetap tawaf dan tawafnya sah. Semisal ketika wanita haid yang bersafar untuk haji dan umrah namun ia terhalangi untuk tawaf karena haid, sedangkan waktunya sempit karena ia akan segera kembali ke negerinya. Ini adalah kondisi darurat, sehingga ia diperbolehkan untuk tawaf. Allah ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian” (QS. At-Taghabun: 16).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
تطوف بالبيت- والحالةُ هذه- وتكون هذه ضرورةً مقتضيةً لدخولِ المسجِدِ مع الحيضِ والطَّوافِ معه، وليس في هذا ما يخالف قواعدَ الشريعةِ، بل يوافِقُها كما تقدمَّ؛ إذ غايته سقوطُ الواجِبِ أو الشَّرْطِ بالعجزِ عنه، ولا واجبَ في الشريعةِ مع عجزٍ، ولا حرامَ مع ضرورةٍ
“Tawaf di Baitullah dalam keadaan demikian, menjadi kondisi darurat baginya untuk memasuki masjid walaupun sedang haid, kemudian tawaf di sana. Hal ini tidak menyelisihi kaidah-kaidah syar’i, bahkan sejalan dengannya. Intinya adalah gugurnya kewajiban atau syarat ketika tidak mampu. Dan tidak ada kewajiban dalam syariat ketika tidak mampu, dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/19).
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta juga ditanya, “Seorang wanita berihram untuk umrah. Setelah ia sampai di Makkah, ternyata ia haid. Sedangkan mahramnya mengatakan bahwa ia harus segera bersafar (dari Makkah) dan tidak ada mahram lain baginya. Bagaimana hukumnya?”. Mereka menjawab:
إذا كان الأمرُ كما ذُكِرَ؛ مِن حيضِ المرأة قبل الطَّوافِ وهي مُحْرمة، ومَحْرَمُها مضطرٌّ للسفر فورًا، وليس لها مَحْرَمٌ ولا زوجٌ بمكَّة؛ سقَطَ عنها شَرْطُ الطَّهارة مِنَ الحيض لدخولِ المسجِدِ وللطَّوافِ للضرورة، فتستثفِرُ وتطوف وتسعى لعُمْرَتِها، إلَّا إنْ تيسر لها أن تسافِرَ وتعودَ مع زوجٍ أو محرمٍ، لقُرْبِ المسافةِ ويُسْرِ المَؤُونةِ، فتسافِرُ وتعودُ فَوْرَ انقطاعِ حَيْضِها لتطوفَ طوافَ عُمْرَتِها وهي متطَهِّرةٌ
“Jika memang demikian keadaannya, yaitu ia haid sebelum tawaf dan mahramnya mengatakan bahwa ia harus segera bersafar serta tidak ada lagi mahram baginya di Makkah, maka gugurlah syarat thaharah untuk memasuki masjid dan tawaf karena keadaan darurat. Maka ia mendapatkan keringanan, boleh baginya tawaf dan sai untuk umrahnya. Kecuali jika ia mampu untuk kembali ke Makkah lagi bersama suami atau mahramnya (setelah suci), karena tempat tinggalnya dekat dan biaya perjalanannya murah. Jika demikian, maka silakan ia bersafar dahulu lalu kembali lagi ke Makkah setelah suci dari haid untuk melakukan tawaf dalam keadaan suci” (Fatawa Al-Islam, 2/238).
Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
***
URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV
Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur.
Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi)
PayPal: [email protected]
Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?
🔍 Hukum Islam Hamil Diluar Nikah, Lambang Agama Islam, Dosa Berkata Kotor, Wujud Pocong, Paman Nabi Muhamad