Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du.
Baru-baru ini sedang ramai ada putri salah seorang public figure yang mengumumkan untuk melepas jilbabnya. Alasannya klasik, karena selama ini ia berjilbab belum dari hatinya. Dan andaikan ia kelak berjilbab maka itu harus dari hatinya. Kenapa alasan ini klasik? Karena sejak zaman dulu kita sudah mendengar alasan sebagian Muslimah yang tidak berjilbab mereka mengatakan “Yang penting menjilbabi hati dulu“. Ungkapannya berbeda, namun intinya sama saja.
Alasan di atas kalau kita coba ambil benang merahnya adalah mereka merasa bahwa berjilbab itu harus penuh dengan kerelaan, bukan paksaan, harus benar-benar menyadari apa untungnya berjilbab, apa maslahatnya untuk mereka, apa hikmah di balik perintah jilbab dan seterusnya. Jika semua ini sudah mereka dapatkan di dalam hati, barulah mereka mau berjilbab.
Jika Anda memahami ini, tentu Anda sudah bisa melihat di mana sisi kekeliruan pola pikir tersebut. Minimalnya ada tiga poin yang bisa kita garis bawahi:
Pertama, kita semua adalah hamba bagi Allah ta’ala, Rabb semesta alam. Maka seorang hamba itu tidak dalam posisi “Apa untungnya buat saya? Kalau menguntungkan saya lakukan, kalau tidak maka saya tidak mau“. Seorang hamba tidak ada di domain itu. Kita diciptakan di dunia ini untuk sepenuhnya mempersembahkan diri kita kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)“. (QS. Al-An’am: 162-163).
Jangan sampai kita menjadi orang yang menghamba kepada hawa nafsunya. Jika cocok dengan hawa nafsunya, maka akan ia jalankan. Jika tidak cocok dengan hawa nafsunya, maka ia pun enggan, Sejatinya orang seperti ini menghamba kepada hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS. Al-Jatsiyah: 23).
Kedua, semua ajaran agama itu pasti menguntungkan kita dan maslahat untuk kita. Semuanya tanpa terkecuali. Sehingga kita tidak perlu lagi memilah-milah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak, karena semuanya pasti menguntungkan kita. Mengapa demikian? Dua poin:
1. Ajaran agama jelas bukan untuk menguntungkan Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala tidak membutuhkan kita. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58).
Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah ta’ala. Andai seluruh manusia beriman dan bertakwa, keagungan Allah tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia kafir dan ingkar kepada Allah, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman:
يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم . كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم . ما زاد ذلك في ملكي شيئا . يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم . وإنسكم وجنكم . كانوا على أفجر قلب رجل واحد . ما نقص ذلك من ملكي شيئا
“Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu sedikit pun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (HR. Muslim, no.2577)
Demikianlah, Allah ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita. Lalu untuk apa kita berlelah-lelah, menghabiskan banyak waktu untuk beramal dan beribadah? Karena untuk keuntungan dan kebaikan kita sendiri. Allah ta’ala berfirman:
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
“Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra: 7)
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
“Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” (QS. Luqman: 12).
2. Ajaran agama ini datang dari Rabb semesta alam yang menciptakan langit, bumi serta isinya. Bukan hasil musyawarah sekelompok manusia, bukan kesepakatan politik, bukan buah akal budi manusia yang penuh salah dan dosa. Tapi ajaran agama untuk manusia ini datang dari Dzat yang menciptakan si manusia itu, yaitu Allah ta’ala. Adakah yang lebih mengetahui mana yang baik dan buruk bagi manusia melebihi penciptanya? Janganlah kita ini merasa lebih tahu daripada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216).
Alasan yang ketiga, menjalankan agama tidak harus mengetahui hikmahnya dulu. Bahkan wajib kita menjalankan agama yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, walaupun belum mengetahui apa hikmahnya. Taat tanpa harus mengetahui hikmahnya
Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, ia berkata:
نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548).
Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun mereka tetap taat.
Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata:
إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270).
Bagi Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, itu sudah cukup bagi beliau.
Syaikh Shalih As-Suhaimi ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari’at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari’at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. Para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6).
Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari’at. Dan pasti Allah syari’atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama:
الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً
“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al-Jami’ah, hal.27).
Berjilbab dan menjalankan ajaran Islam yang lainnya tidak harus dalam keadaan memahami hikmahnya. Walaupun merasa berat, dan belum memahami hikmahnya, tetap wajib menjalankannya dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala dan meyakini ada hikmah besar di baliknya. Mudah-mudahan orang yang demikian termasuk seperti apa yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan:
عجِبَ رَبُّنا عزَّ وجلَّ مِن قَومٍ يُقادون إلى الجنَّةِ في السَّلاسِلِ
“Sungguh Rabb kita ‘azza wajalla kagum kepada orang masuk surganya karena ditarik dengan rantai” (HR. Al-Bukhari no.3010).
Subhanallah! Ada orang yang masuk surga karena dipaksa dan ditarik! Makna hadits ini adalah tentang orang-orang yang dahulu menjadi tawanan perang kemudian mereka masuk Islam karena terpaksa. Namun ternyata setelah itu mereka berislam dengan baik dan akhirnya masuk surga.
Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk istiqomah dalam berislam.
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam.
Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
***
URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV
Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur.
Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi)
PayPal: [email protected]
Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?
🔍 Hukum Makan Kepiting, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Hukum Pisah Ranjang Dalam Islam, Tempat Imam, Berapa Lama Masa Haid, Tata Cara Sholat Ied Di Rumah Sesuai Sunnah