Pertanyaan:
Benarkah bahwa suami menanggung semua dosa istrinya sampai yang terkecilnya?
Jawaban:
Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,
Ini konsep yang tidak sejalan dengan syariat dan juga tidak sesuai dengan akal sehat.
Dalam syariat, setiap orang hanya akan mempertanggungjawabkan hasil perbuatan masing-masing. Seseorang tidak akan diazab gara-gara kesalahan orang lain.
Kecuali, jika kesalahan orang lain tersebut hasil dari perbuatan dia. Jadi tetap saja, dia dihukum karena hasil perbuatannya sendiri.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
“Seseorang tidak menanggung dosa karena kesalahan orang lain.” (QS. Fathir: 18).
Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ قِيلَ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا بِمَا كُنتُمْ تَكْسِبُونَ
“Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu: “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yunus: 52).
Di hari pembalasan tidak ada orang yang terzalimi dengan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Semua balasan sesuai dengan perbuatannya. Allah ta’ala berfirman:
فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Di hari ini tidak ada orang terzalimi sama sekali, dan tidaklah seseorang dibalas kecuali atas apa yang ia kerjakan” (QS. Yasin: 54).
Maka, dalam syariat, suami tidak menanggung dosa istri. Kecuali kesalahan-kesalahan istri yang disebabkan oleh suaminya. Seorang suami tidak menanggung dosa istri kecuali karena tiga sebab:
1. Suami lalai, tidak mengajarkan agama kepada istri sehingga istri jatuh pada penyimpangan agama.
2. Suami mengajarkan atau membantu istrinya melakukan keburukan.
3. Suami membiarkan atau menyetujui keburukan yang dilakukan istrinya.
Dalilnya, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. At-Tahrim: 6).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini, maksudnya adalah:
علموا هم وأدبوا هم
“Ajarkanlah keluargamu ilmu agama dan ajarkan mereka adab” (Tafsir Ath-Thabari, 23/103).
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Al-Bukhari no.893, Muslim no.1829).
Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin membuat judul bab:
باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ
“Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama”.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan:
فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله
“Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan)” (Al-Istidzkar, hal. 510).
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ
“Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, AD-DAYYUTS, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid 861/2, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 3063).
Dayyuts adalah lelaki yang membiarkan istrinya atau anak-anaknya melakukan maksiat. Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits lain:
ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ
“Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan AD-DAYYUTS, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya” (HR. Ahmad no. 5372, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no.3052).
Maka seorang suami berdosa jika istrinya melakukan kesalahan karena tiga sebab di atas. Dan sebenarnya dalam 3 poin di atas, suami menanggung dosa istri karena kesalahan si suami sendiri. Sehingga sesuai kaidah asal, bahwa setiap orang menanggung balasan atas sebab perbuatannya masing-masing.
Adapun kesalahan istri yang tidak termasuk 3 poin di atas, maka suami berlepas diri dan tidak menanggung dosa istri. Semisal suami yang sudah mengajari istrinya dan sudah menasehatinya dengan baik, namun sang istri enggan menaati suaminya sehingga ia berbuat pelanggaran agama, maka suami tidak menanggung dosa istrinya.
Dan konsep menanggung semua dosa orang lain ini berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini Yesus menanggung dosa semua umat Nasrani sampai yang terkecilnya.
Akhir kalam, bagi para suami walaupun tidak menanggung semua dosa istri, tetap saja 3 poin di atas adalah perkara berat, jangan sampai jatuh ke dalamnya.
Semoga Allah beri taufik kepada para suami untuk bisa mendidik dan membimbing keluarganya dengan baik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
***
URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV
Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur.
Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi)
PayPal: [email protected]
Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?
🔍 Amalan Bulan Rajab, Masa Haid Menurut Islam, Hukum Puasa Ramadhan Bagi Ibu Menyusui, Doa Di Hari Jumat, Debat Islam Vs Kristen Terbaru, Doa Takziah Sesuai Sunnah