FIKIH, Kontemporer, Pernikahan, Problematika Rumah Tangga

Bolehkah Melakukan KB (Keluarga Berencana) Bukan Karena Takut Miskin?

Pertanyaan:

Bagaimana kalau saya menjaga kehamilan atau KB dengan alasan tidak takut miskin, tetapi lebih demi menjaga pendidikan anak, apakah itu juga tetap tidak boleh?

Jawaban:

Alhamdulillah, soal KB atau Birth Control, sudah jadi bahasan klasik di antara para ulama. Intinya bermuara pada satu titik konklusi: secara pandauan manuan syariat, KB itu berseberangan dengan ajaran Islam, pada dua titik rawannya.

Pertama, pada prinsip pembatasan anak. Kalau Islam menganjurikan memperbanyak keturunan, KB justru bermisi membatasi keturunan, atau menghentikannya sama sekali.

Kedua, KB bermisi menciptakan keluarga berencana berdasarkan pendekatan “semakin sedikit anak, semakin baik untuk konsep pembinaan dan pendidikan”. Sementara Islam justru berkonsep sebaliknya: semakin banyak anak, semakin banyak aset pahala bagi orangtuanya, semakin banyak generasi islam, dan semakin banyak kesempatan menyebarkan ajaran Islam. Balutan konsep Islam berada dalam lingkaran optimisme, tekad yang kaut dan hati yang tulus, sementara balutan misi para penggagas KB justru berada dalam bingkai pesimisme, tekad yang memudar dan hati yang sudah ternodai cinta dunia.

Sehingga, apa pun alasannya, hukum asal dari KB adalah dilarang dan berseberangan dengan ajaran Islam. Diperbolehkannya KB hanya dalam kondisi darurat. Segala yang diharamkan dalam Islam bisa saja diperbolehkan, termasuk makan daging babi, jika dalam kondisi darurat. Alasan menjalankan KB demi kebaikan pendidikan anak, sama dengan alasan memakan babi demi kesehatan tubuh di luar keadaan darurat. Alasan itu terlalu sederhana untuk dijadikan sebagai sebuah kasus darurat.

Maaf, mungkin terlihat sedikit kasar, tapi sejatinya ini hanya penjabaran dari realita. Ini seperti kasus “semakin banyak ilmu, semakin besar tanggung jawab”. Tapi sangat picik bila kemudian kita memilih “lebih baik sedikit ilmu, supaya hanya ada sedikit tanggung jawab”. Ilmu adalah anugrah, seperti halnya anak. Seyogyanya setiap muslim dan muslimah memiliki semangat baja dan hasrat yang tulus, terkait dengan pendidikan anak.

Kalau konsepnya dimulai dari tanggung jawab dan pengabdian kepada Allah, maka saat anak lahir, yang terbetik dalam jiwa seorang muslimah adalah munculnya sebuah tanggung jawab besar, amanah, bahkan juga ibadah dalam dimensi maknanya yang diperluas, plus kesempatan untuk mengembangkan dakwah dan regenerasi umat Islam yang shalih dan shalihah.

Akan tetapi kalau konsepnya berkutat pada nuansa berpikir kapitalisme, bahwa lahirnya anak adalah lahirnya beban finansial baru, yang dengan sendirinya membutuhkan modal baru, dan sejenisnya, maka persepsi materialistis itu menyeruak sebagai persoalan.

Orang bisa berkata, “Saya tidak mengkhawatirkan soal kemiskinan, tapi pendidikan anak.” Itu setali tiga uang, alias sama saja, karena baik soal nafkah ataupun pendidikan, tidak berlari jauh dari semangat bekerja dan uang.

Orang yang mengkhawatirkan pendidikan anak, setidaknya memiliki dua bentuk kekhawatiran. Pertama, khawatir kalau anaknya tidak terdidik secara baik, ini soal kerja keras. Kedua, khawatir kalau anaknya tidak mendapatkan pendidikan layak, ini soal uang. Jadi, persoalannya justru lebih kompleks dari sekadar khawatir akan kemiskinan, yang artinya lebih mencelat jauh dari konsep dari misi Islam yang sangat menghargai anak dan regenerasi.

Artinya, logikanya bisa disederhanakan sebagai berikut: Takut bekerja dan mengurus anak dan istri, tak usah menikah. Takut tidak mampu mendidik anak, tidak usah punya anak. Takut mengemban banyak kewajiban dan menjauhi larangan, tidak usah beragama. Takut tak mampu menjadi anak yang berbakti, tidak usah punya orang tua! Takut harus selalu menjaga adab, etika dan kebajikan, tidak usah jadi manusia….

Kalau logika ini diteruskan, pasti akan melahirkan keanehan demi keanehan yang semakin tak mungkin kita toleransi lagi. Intinya, ini adalah logika untuk lari dari kewajiban dan tanggung jawab,
“Tidak ada kewajiban yang hanya bisa ditegakkan dengan yang haram,” ini konsep Islam, yang selalu disosialisasikan oleh Syekh Al-Muhaddits, Muhammad Nashiruddien Al-Albani.

Kembali ke soal anak tadi. Syubhat atau kerancuan persepsi, bahwa seseorang ingin melaksanakan KB agar lebih mampu mendidik anak, tidak lain adalah konsep rapuh, yang tak lebih berharga dari sarang laba-laba.

Saudari yang kami hormati, orang yang hanya ingin bersedekah kalau sudah kaya raya, pada hakikatnya adalah pemimpi belaka. Budaya sedekah harus dimulai sejak kita hanya memiliki sedikit harta. Demikian juga, orang yang ingin menuntut ilmu kalau waktu sudah senggang, ingin mengajar dengan baik kalau urusan ekonomi keluarga sudah membaik, dan sejenisnya. Itu sama dengan konsep, ingin menjadi orangtua dan pengasuh serta pendidik yang baik kalau hanya punya 2 anak saja. Itu melahirkan dua makna:

Pertama, ia tidak akan siap menjadi pendidik yang baik, kalau ternyata –dengan takdir Allah– ia akhirnya memiliki anak lebih dari dua. Terbukti, banyak orang yang melaksanakan KB, ternyata akhirnya harus memiliki anak juga, karena terjadi kebocoran.

Kedua, itu maknanya, si calon orangtua tersebut tidak memiliki jiwa yang teguh. Meski dia berjanji akan menjadi pengasuh dan pendidik yang baik dengan 2 anak, pada dasarnya ia pun kurang memiliki keteguhan untuk menjadi pengasuh, bahkan untuk satu anak saja, karena keteguhan sikap itu, dapat dilihat dari pembiasaan diri dan pelatihan.

Orang yang sudah terbiasa bersedekah, padahal dia miskin, akan semakin mampu bersedekah saat ia kaya, tetapi orang yang berkhayal akan banyak bersedekah kalau dia sudah kaya raya, akan semakin tenggelam dalam dunianya, saat sudah betul-betul menjadi kaya. Ya, kecuali mereka yang bertobat.

Intinya, melaksanakan KB dengan alasan takut tak mampu mendidik anak, lebih didasari oleh sejenis trauma rasa takut berlebihan yang mirip dengan paranoid. Kami bahkan yakin, bahwa itu termasuk bentuk sakit kejiwaan yang harus segera diobati. Rasa takut dan khawatir yang wajar, pasti hanya akan melahirkan sikap hati-hati, untuk bekerja lebih giat dan lebih bersemangat. Takut jatuh dari sepeda motor dalam batas normal misalnya, itu wajar, karena akan membuat seseorang berhati-hati. Tapi kalau sampai membawa kesimpulan “tak mau mengendarai sepeda motor”, itu paranoid. Betapa banyak tugas, kewajiban, tanggung jawab dan amanah yang akan terbengkalai kalau rasa khawatir seperti itu dipupuk dan disemai.

Terlebih-lebih, untuk menghadapi persoalan KB, yang jelas-jelas hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat terpaksa, dan itu pun masih dalam batas kontroversi. Rasa takut seperti itu, harus dilenyapkan sama sekali. Tegakkanlah kepala, busungkan dada, jadilah orang yang bersemangat baja dan berpemikiran gigih dan ulet, karena hanya dengna ini bias-bias keberhasilan akan menjadi nyata. Kalau tidak, kita hanya menjadi pecandu mimpi-mimpi indah saja. (Ustadz Abu Umar Basyier)

Sumber: Majalah Nikah, Vol. 6, No. 1, 2007.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

🔍 Bolehkah Suami Meminum Asi Istri, Niat Puasa Kafarat Sumpah, Jawaban Untuk Taqobalallahu Minna Wa Minkum, Niat Solat Qada, Tingkatan Neraka Menurut Islam, Doa Pada Sujud Terakhir

QRIS donasi Yufid