Mari bersama untuk kehidupan kita kelak di akhirat.   BSI: 7086882242
a.n. Yayasan Yufid Network  

Seluruh dana untuk operasional produksi konten dakwah di Yufid: Yufid.TV, YufidEDU, Yufid Kids, website dakwah (KonsultasiSyariah.com, Yufid.com, KisahMuslim.com, Kajian.Net, KhotbahJumat.com, dll).

Yufid menerima zakat mal untuk operasional dakwah Yufid

FIKIH, Halal Haram, Hukum Perdagangan, Hutang Piutang, Kontemporer, Muamalah

Bolehkah Meminjam Uang Bank Karena Kepepet?

riba bank koperasi dan simpan pinjam

Meminjam Uang Bank Karena Kepepet

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum.

Kita semua tahu, bahwa pinjaman uang di bank itu riba. Bagaiman solusi bagi orang yang membutuhkan uang? Karena saat ini, hanya bank, yang berani meminjamkan uang dalam jumlah kecil maupun besar.

Terima kasih.

Wassalam

Dari: Dandy

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

 Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,

Prinsip pokok yang wajib kita tanamkan bersama, bertransaksi dengan bank dalam bentuk meminjam uang untuk kebutuhan apapun, termasuk praktik riba. Karena bank tidak mungkin mengucurkan dana selain CSR, tanpa embel-embel riba. Dengan demikian, bank sejatinya bukan solusi bagi masalah keuangan masyarakat. Justru bank adalah penyakit bagi masyarakat. Apapun nama dan labelnya. Baik konvensional maupun syariah – sebagaimana pengakuan mereka yang pernah terjun di bank syariah –.

Bank merupakan agen riba di masyarakat. Mereka jaya di atas penderitaan banyak orang. Berita tentang orang yang bunuh diri karena terlilit utang bank, dipukuli debt collector, rumah disita sehingga anak istri telantar, dst. Peristiwa semacam ini bukan hal yang asing di tempat kita. Para pegawai bank duduk manis di ruang ber-AC dengan gaji besar, hanya dengan memperhatikan perhitungan angka di komputer, nyawa nasabah bisa menjadi taruhannya.

Lebih dari itu, pinjam dana dari bank, sejatinya kita telah melanggar ancaman laknat karena transaksi riba. Satu hadis yang sangat sering kita dengar, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).

Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:

وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).

Pemberi makan riba pada hadis ini adalah para nasabah yang meminjang uang di bank, yang mempersyaratkan adanya riba, sebagaimana keterangan di Aunul Ma’bud.

Pendek kata, bagi orang yang sedang memiliki masalah keuangan, meminjam di bank sama dengan menciptakan masalah baru baginya.

Lalu bagaimana dengan orang yang butuh banyak uang? Bukankah pinjaman bank akan sangat membantu?

Pertanyaan inilah yang mungkin menjadi alasan terbesar bagi kebanyakan orang untuk tetap gandrung dengan pinjaman bank. Namun sebenarnya, pertanyaan ini masih terlalu global, sehingga perlu kita rinci untuk bisa memberikan jawaban yang berbeda. Rincian itu sebenarnya merupakan turunan dari pertanyaan di atas:

Apa latar belakang dia butuh banyak uang?

Dan untuk tujuan apa dia butuh banyak uang?

Konsekuensi bahwa Islam adalah agama sempurna, kita bisa mendapatkan jawaban yang benar untuk semua masalah. Tak terkecuali masalah keuangan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa catatan yang bisa kita jadikan pengantar:

Pertama, kita yakin hampir semua orang butuh harta, karena dia butuh untuk hidup. Di lain pihak, tidak semua orang bisa mencari sendiri harta yang menjadi kebutuhan pokok hidupnya. Dalam Islam, manusia yang tidak bisa mencari kebutuhan hidup sendiri dikelompokkan menjadi dua:

a. Orang yang menjadi tanggungan keluarganya yang lain, seperti anak menjadi tanggungan orang tua, atau orang tua yang tidak mampu mencari nafkah menjadi tanggungan anak lelaki, atau saudara yang tidak mampu bekerja karena cacat fisik atau mental, menjadi tanggungan saudaranya yang lain, dst.

b. Orang yang menjadi tanggungan kaum muslimin secara bersama atau negara, karena mereka tidak lagi menjadi tanggungan anggota keluarganya yang lain. Merekalah orang fakir, miskin, ibnu sabil, budak mukatab, jatuh pailit karena utang, dst. Untuk menutupi kebutuhan pokok hidupnya, mereka berhak mendapatkan harta zakat.

Melihat peta masyarakat muslim yang demikian, sejatinya dalam Islam tidak ada istilah manusia terlantar karena masalah harta. Karena yang mampu wajib membayar zakat dan yang kurang mampu, berhak menerima zakat. Sehingga kebutuhan pokok setiap muslim pasti akan terjamin.

Kedua, dalam Islam ada manusia yang diizinkan untuk meminta-minta. Sehingga andaipun dia tidak tercover dengan harta zakat, dia masih bisa mendapatkan harta dari sumber yang lain untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Diantara kondisi tersebut adalah:

a. Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia wajib untuk meninggalkan mengemis.

b. Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.

c. Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat berat, sehingga disaksikan oleh 3 orang berakal,  pemuka masyarakatnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka  halal  baginya  meminta-minta  sampai  dia  mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya.

Pada tiga kondisi ini, seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan. Dalil kesimpulan ini adalah hadis dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (HR Muslim no.1044, Abu Dawud no.1640, dll)

Ada satu lagi yang boleh meminta-minta, yaitu ketika seseorang meminta sumbangan untuk kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan pribadinya. Seperti untuk tujuan dakwah, pembangunan sarana keagamaan, dll. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotivasi para sahabat untuk berinfak dalam rangka jihad atau kepentingan sosial lainnya.

Melihat klasifikasi di atas, kita akan kesulitan mencari alasan lain untuk membolehkan seseorang pinjam uang dari bank. Selain untuk tujuan yang bukan bagian dari kebutuhan utama hidupnya, semacam modal usaha. Jika karena latar belakang modal usaha, meminjam modal dari bank, hakikatnya adalah mengawali usaha dengan transaksi riba. Bisa jadi itu akan menghilangkan keberkahan usahanya. Sebagai solusi, dia bisa membuka investor untuk turut menanamkan modal pada sektor usaha yang dijalani.

Kesimpulannya, tidak ada alasan darurat untuk mencari pinjaman di bank. Karena dalam kondisi darurat, kaum muslimin bisa terbantukan dengan adanya zakat dan sedekah. Untuk urusan usaha dan bisnis, masih ada seribu alternatif yang halal, tanpa harus melibatkan riba.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

🔍 Doa Setelah Baca Quran, Shalat Iftitah Sebelum Tarawih, Shalawat Untuk Diri Sendiri, Arti Mimpi Menjadi Imam Sholat, Cara Mengeluarkan Sperma Dengan Tangan, Satu Mud Berapa Liter Beras

Visited 456 times, 1 visit(s) today

QRIS donasi Yufid

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.