Ibadah Haji dan Umrah Untuk Mertua
Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalamu ‘ala Rasulillah waba’du.
Pada dasarnya setiap orang mendapatkan pahala dari amalnya masing-masing. Kecuali beberapa ibadah yang dikecualian oleh dalil bahwa pahalanya dapat diteruskan kepada orang lain.
Allah berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, (QS.An-Najm : 39)
Dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim dijelaskan,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia telah meninggal, maka seluruh amalannya terputus kecuali tiga amalan : sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim)
Diantara ibadah yang dikecualikan di sini adalah, umrah dan juga haji. Ada beberapa hadis yang menerangkan hal ini, diantaranya :
Pertama, hadis Abu Razin Al ‘Uqaili, dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bertanya:
يا رسول الله إن أبي شيخ كبير لا يستطيع الحج و لا العمرة و لا الظعن : قال ( حج عن أبيك واعتمر )
Wahai Rasulullah, ayahku sudah sangat tua, tidak mampu haji, umrah, dan perjalanan.
Beliau menjawab, “Hajikanlah ayahmu dan umrahkanlah.”
(HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i dll)
Kedua, hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
أتى رجل النبي صلى الله عليه وسلم فقال له إن أختي نذرت أن تحج وإنها ماتت فقال النبي صلى الله عليه وسلم لو كان عليها دين أكنت قاضيه قال نعم قال فاقض الله فهو أحق بالقضاء
Seorang laki-laki menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada beliau, “Sesungguhnya saudara perempuanku bernadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya ?”
“Iya”. Jawabnya
Beliau kemudian bersabda, ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR. Bukhari)
Dua hadis di atas sangat jelas menerangkan, bahwa haji dan umrah adalah diantara ibadah yang pahalanya dapat diteruskan untuk orang lain. Bukan berarti hanya orang yang dia niatkan yang mendapat pahala umrah atau haji, namun juga orang yang menghajikan atau mengumrahkan, juga mendapat pahala, tanpa sedikitpun dikurangi.
Apakah disyaratkan harus dari kerabat?
Mari simak penjelasan dalam Fatawa Syabakah Islamiyyah nomor 159553 berikut :
لا مانع من أداء العمرة عنها بشرط أن تكون قد أديت العمرة عن نفسك أولا، ولو لم تربطك بها صلة قرابة، لأنه لا يشترط لصحة إهداء ثواب العبادة وجود القرابة
“Tidak mengapa seorang mengumrahkan orang lain, asal dengan syarat dia sudah menunaikan ibadah umrah (atau haji) untuk dirinya dahulu. Mengumrahkan orang lain boleh meskipun dia tidak ada hubungan kekerabatan dengan anda. Karena dalam menghadiahkan pahala suatu ibadah, tidak disyaratkan harus ada hubungan kekerabatan.”
Jika yang tidak ada hubungan kekeluargaan saja sah mengumrahkan orang lain, apalagi yang ada hubungan ikatan kekeluargaan seperti mertua. Dan mertua adalah diantara orang yang sangat berhak mendapatkan bakti kita. Karena merekalah yang telah berjuang menyiapkan belahan jiwa kita; istri kita sehingga menjadi pasangan hidup penyejuk pandangan kita. Mengumrahkan mereka, adalah bagian dari terimakasih kita atas jasa besar ini.
Sementara Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
“Siapa belum berterima kasih kepada manusia, maka ia belum bersyukur kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Syarat Haji dan Umrah untuk Orang Lain
Namun, sebelum mengumrahkan atau menghajikan orang lain, perlu kita penuhi syarat berikut :
Pertama, yang mengumrahkan sudah pernah melakukan umrah/haji.
Jika seorang mengumrahkan/menghajikan orang lain, sementara dia sendiri belum pernah melaksanakannya sebelumnya, maka pahala umrah/haji itu tidak akan sampai kepada yang diumrahkan/dihajikan. Namun, pahala tersebut kembali kepada dia sendiri yang melakukannya.
Kedua, yang diumrahkan secara terus-menerus tidak mampu untuk melakukan ibadah haji/umrah sendiri.
“Terus-menerus” maksudnya ketidakmampuan yang tidak ada harapan hilang. Seperti : sakit menahun, tua renta atau bahkan sudah meninggal dunia.
(Simak fatwa Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Ar Ruhaili berikut :
Wallahua’lam bis showab.
***
Ditulis oleh Utsdaz Ahmad Anshori, Lc (Pengasuh PP. Hamalatul Quran, DIY)
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
- KONFIRMASI DONASI hubungi: 087-738-394-989
🔍 Mahram Kita, Ruh Setelah Meninggal, Umur Umat Nabi Muhammad, Negara Iran Syiah, Pahala Shalat Di Masjid Nabawi, Keluar Darah Hitam Sebelum Haid