Para Sahabat Ngalap Berkah dari Air Liur dan Keringat Nabi?
Pertanyaan:
Apakah benar bahwa para Sahabat radhiallahu’anhum dahulu ngalap berkah dari air liur dan keringat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam? Mohon faedah tentang hal ini, jazakumullah khayran.
Jawaban:
Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu was salamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du.
Memang benar bahwasanya dahulu sahabat radhiallahu’anhum ber-tabarruk (ngalap berkah) dari air liur, keringat, rambut, bekas wudhu, jubah, dan bejana milik Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Hal ini disebutkan dalam banyak sekali riwayat-riwayat yang shahih. Di antaranya:
Dalil-dalil tabarruk terhadap jasad Rasulullah dan peninggalan beliau
*Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mempersilakan para sahabat ber-tabarruk dengan rambut Beliau. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أَتَى مِنًى، فأتَى الجَمْرَةَ فَرَمَاهَا، ثُمَّ أَتَى مَنْزِلَهُ بمِنًى وَنَحَرَ، ثُمَّ قالَ لِلْحَلَّاقِ: خُذْ، وَأَشَارَ إلى جَانِبِهِ الأيْمَنِ، ثُمَّ الأيْسَرِ، ثُمَّ جَعَلَ يُعْطِيهِ النَّاسَ. [وفي رواية]: فَقالَ في رِوَايَتِهِ، لِلْحَلَّاقِ هَا وَأَشَارَ بيَدِهِ إلى الجَانِبِ الأيْمَنِ هَكَذَا، فَقَسَمَ شَعَرَهُ بيْنَ مَن يَلِيهِ، قالَ: ثُمَّ أَشَارَ إلى الحَلَّاقِ وإلَى الجَانِبِ الأيْسَرِ، فَحَلَقَهُ فأعْطَاهُ أُمَّ سُلَيْمٍ. وَأَمَّا في رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ قالَ: فَبَدَأَ بالشِّقِّ الأيْمَنِ، فَوَزَّعَهُ الشَّعَرَةَ وَالشَّعَرَتَيْنِ بيْنَ النَّاسِ، ثُمَّ قالَ: بالأيْسَرِ فَصَنَعَ به مِثْلَ ذلكَ، ثُمَّ قالَ: هَا هُنَا أَبُو طَلْحَةَ؟ فَدَفَعَهُ إلى أَبِي طَلْحَةَ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sampai di Mina. Beliau lalu datang ke Jamratul ‘Aqabah lalu melakukan jumrah. Kemudian beliau pergi ke tempatnya di Mina, dan menyembelih hewan kurban di sana. Sesudah itu, beliau berkata kepada tukang cukur: “Cukurlah rambutku!”. Sembari memberi isyarat ke kepalanya sebelah kanan dan kiri. Lalu, beliau memberikan rambutnya kepada orang banyak”. Dalam riwayat lain: “Sembari memberi isyarat ke arah kepala bagian kanannya seperti ini. Lalu beliau membagi-bagikan rambutnya kepada mereka yang berada di sekitar beliau. Setelah itu beliau memberi isyarat kembali ke arah kepala bagian kiri, lalu tukang cukur itu pun mencukurnya. Lalu beliau pun memberikan rambut itu kepada Ummu Sulaim”. Adapun dalam riwayat Abu Kuraib, ia menyebutkan: “Tukang cukur itu pun memulainya dari rambut sebelah kanan seraya membagikannya kepada orang-orang, baru pindah ke sebelah kiri dan juga berbuat seperti itu. Kemudian beliau bersabda: “Ambillah ini wahai Abu Thalhah.” Akhirnya beliau pun memberikannya kepada Abu Thalhah” (HR. Muslim no.1305).
*Para sahabat ber-tabarruk dengan ludah Nabi. Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam radhiallahu’anhuma. Dalam hadis tersebut, Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi ia berkata,
واللَّهِ إنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أصْحَابُهُ ما يُعَظِّمُ أصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُحَمَّدًا؛ واللَّهِ إنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إلَّا وقَعَتْ في كَفِّ رَجُلٍ منهمْ، فَدَلَكَ بهَا وجْهَهُ وجِلْدَهُ، وإذَا أمَرَهُمُ ابْتَدَرُوا أمْرَهُ، وإذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ علَى وَضُوئِهِ، وإذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ، وما يُحِدُّونَ إلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا له
“Demi Allah, tidak pernah aku melihat raja yang diagungkan sebagaimana pengagungan para sahabat Nabi kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Demi Allah, tidaklah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meludah, kecuali pasti akan jatuh di telapak tangan salah seorang dari sahabatnya, kemudian orang itu pun menggosokkan ludah Nabi kepada wajah dan kulitnya. Dan bila Nabi memberi suatu perintah kepada mereka, mereka pun bergegas melaksanakan perintah Beliau. Dan apabila Beliau hendak berwudhu’, para sahabat hampir berkelahi karena berebut sisa wudhu Nabi. Bila Nabi berbicara, mereka merendahkan suara mereka di hadapan Nabi. Dan mereka tidak pernah menajamkan pandangan kepada Nabi, sebagai bentuk pengagungan mereka terhadap Nabi” (HR. Al-Bukhari no.2731).
*Keberkahan jasad Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dimanfaatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha untuk meruqyah. Beliau radhiallahu ‘anha berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan al-mu’awwidzat (doa-doa perlindungan) ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Ketika sakit beliau semakin parah, akulah yang meniup beliau dengan al-mu’awwidzat dan aku mengusapnya dengan tangan beliau sendiri karena keberkahan kedua tangan beliau” (HR. Al-Bukhari no. 5735 dan Muslim no. 2192).
*Ummu Sulaim radhiallahu’anha ber-tabarruk dengan keringat Nabi. Ummu Sulaim berkata:
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَأْتِيهَا فَيَقِيلُ عِنْدَهَا فَتَبْسُطُ له نِطْعًا فَيَقِيلُ عليه، وَكانَ كَثِيرَ العَرَقِ، فَكَانَتْ تَجْمَعُ عَرَقَهُ فَتَجْعَلُهُ في الطِّيبِ وَالْقَوَارِيرِ، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: يا أُمَّ سُلَيْمٍ ما هذا؟ قالَتْ: عَرَقُكَ أَدُوفُ به طِيبِي
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah datang ke rumah Ummu Sulaim untuk tidur siang di sana. Maka Ummu Sulaim pun menghamparkan karpet kulit agar Nabi tidur di atasnya. Ternyata Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika tidur beliau banyak berkeringat. Ummu Sulaim pun mengumpulkan keringat beliau dan memasukkannya ke dalam tempat minyak wangi dan botol-botol. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Ummu Sulaim, Apa ini?”. Ummu Sulaim menjawab: “Ini adalah keringatmu yang aku campur dengan minyak wangiku” (HR. Muslim no.2332).
*Asma’ bintu Abi Bakar radhiallahu’anha ber-tabarruk dengan jubah Nabi. Abdullah bin Kaisan berkata:
فأخْرَجَتْ إلَيَّ جُبَّةَ طَيَالِسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةٍ لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ، وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بالدِّيبَاجِ، فَقالَتْ: هذِه كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حتَّى قُبِضَتْ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكانَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يَلْبَسُهَا، فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بهَا
“Diperlihatkan kepadaku sebuah jubah Thayalisah dari Kisra yang kerahnya berbahan dibaj, juga kedua sisinya dijahit dengan dibaj. Asma’ berkata kepada budaknya: “Wahai Abdullah, jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia wafat. Setelah Aisyah wafat, aku pun mengambilnya. Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sering memakai jubah ini. Kami pun biasa mencuci jubah ini dengan air untuk menyembuhkan orang yang sakit” (HR. Muslim no.2069).
Hadis-hadis yang semisal ini banyak sekali. Semua hadis ini menunjukkan bolehnya ber-tabarruk dengan jasad Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau bekas-bekas beliau.
Ber-tabarruk dengan peninggalan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga dilakukan oleh para tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Di antaranya:
*Muhammad bin Sirin rahimahullah menyimpan rambut Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Ia pun berkata:
لأن تكون عندي شعرة منه أحب إلي من الدنيا وما فيها
“Aku memiliki sehelai rambut Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya” (HR. Bukhari no. 170).
*Abdullah bin Salam rahimahullah, ia berkata kepada Abu Burdah rahimahullah:
ألا أسقيك في قدح شرب النبي صلى الله عليه وسلم فيه؟
“Ketahuilah gelas yang aku gunakan untuk menjamu engkau adalah gelas yang pernah digunakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam” (HR. Bukhari no.5637).
*Abu Hazim rahimahullah, murid Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi rahimahullah. Abu Hazim berkata,
أن سهل بن سعد سقى الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم بقدح، قال أبو حازم: (فأخرج لنا سهل ذلك القدح فشربنا منه)
“Sahl bin Sa’ad pernah memberi minum Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan sebuah wadah. Dan Sahl pernah memperlihatkan wadah tersebut kepada kami, dan mempersilakan kami untuk minum darinya” (HR. Al-Bukhari no.5637).
Bolehnya ber-tabarruk kepada jasad dan peninggalan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah ijma (kesepakatan) para ulama. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ التَّبَرُّكِ بِآثَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَوْرَدَ عُلَمَاءُ السِّيرَةِ وَالشَّمَائِل وَالْحَدِيثِ أَخْبَارًا كَثِيرَةً تُمَثِّل تَبَرُّكَ الصَّحَابَةِ الْكِرَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ بِأَنْوَاعٍ مُتَعَدِّدَةٍ مِنْ آثَارِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Para ulama sepakat tentang disyariatkannya ber-tabarruk kepada atsar (peninggalan) dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dan para ulama yang menulis sirah, syamail, dan hadis Nabi, telah memaparkan berbagai hadis yang menunjukkan tabarruk-nya para sahabat yang mulia terhadap atsar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan berbagai bentuknya” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 70/10).
Apakah orang zaman sekarang bisa ber-tabarruk dengan jasad atau peninggalan Nabi?
Namun yang menjadi masalah adalah jika tabarruk dengan atsar Nabi ini dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang. Pasalnya, benda-benda yang diklaim sebagai peninggalan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sulit dipastikan kebenarannya. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Kita ketahui bersama bahwa atsar dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berupa pakaian, rambut, benda bekas pakai beliau, itu semua telah sirna dimakan waktu. Dan tidak ada yang bisa memastikan keberadaan benda-benda tersebut secara pasti di zaman sekarang. Jika demikian adanya, maka ber-tabarruk dengan atsar Nabi di zaman sekarang, menjadi pembahasan yang tidak memiliki poin. Dan sudah menjadi perkara yang ada di tataran teori saja. Sehingga masalah ini tidak perlu diperpanjang” (At-Tawasul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, 144).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan: “Bahwasanya tidak mungkin lagi untuk memastikan bahwa rambut yang diklaim ini adalah benar rambut dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Adapun yang disebutkan sebagian orang, bahwa rambut Nabi sekarang ada di Majma’ al-Atsar Mesir, ini tidak benar … Dan yang paling penting adalah atsar Nabi yang maknawi. Yaitu syariat beliau. Adapun atsar yang sifatnya fisikal, ia adalah atsar yang dicintai oleh hati. Namun yang lebih penting lagi untuk diperhatikan adalah atsar syar’i (yaitu ajaran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam)” (Durus Syaikh Ibnul Utsaimin, 11/64).
Tidak berlaku untuk selain Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
Dan yang menjadi poin penting dalam masalah ini adalah bahwasanya ber-tabarruk dengan jasad atau peninggalan seseorang itu hanya berlaku pada jasad dan peninggalan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Tidak berlaku untuk selain beliau. Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan:
وكذلك التبرك بالآثار، فإنما كان يفعله الصحابة مع النبي صلى الله عليه وسلم ، ولم يكونوا يفعلونه مع بعضهم… ولا يفعله التابعون مع الصحابة، مع علو قدرهم، فدل على أن هذا لا يفعل إلا مع النبي صلى الله عليه وسلم ، مثل التبرك بوضوئه، وفضلاته، وشعره، وشرب فضل شرابه وطعامه
“Demikian juga ber-tabarruk dengan bekas-bekas seseorang. Hal ini hanya dilakukan para sahabat Nabi terhadap Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, namun mereka tidak melakukannya kepada sesama mereka. Perbuatan ini juga tidak dilakukan oleh para tabi’in terhadap para sahabat Nabi. Padahal sahabat Nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Semua ini menunjukkan bahwa ber-tabarruk dengan bekas-bekas seseorang hanya khusus dilakukan terhadap Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Yaitu semisal ber-tabarruk dengan air wudhunya atau sisa airnya, dengan rambutnya, dengan air minum atau sisa makan dan minumnya” (Al-Hukmul Jadiirah, 1/55).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Ber-tabarruk dengan bekas-bekas peninggalan orang-orang shalih tidaklah dibolehkan. Hal itu hanya dibolehkan khusus terhadap Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Karena Allah memang telah menjadikan jasad dan kulit beliau mengandung keberkahan. Adapun orang lain tidak bisa diqiyaskan kepada beliau, karena dua alasan:
Pertama, para sahabat tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap orang lain selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Andai perbuatan itu baik, tentu para sahabat Nabilah yang sudah terlebih dahulu melakukannya.
Kedua, menutup jalan menuju kesyirikan. Karena ber-tabarruk kepada bekas-bekas peninggalan orang shalih selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengantarkan kepada ghuluw dan ibadah kepada selain Allah. Sehingga wajib untuk dicegah” (Fathul Baari [3/130], dengan ta’liq dari Syaikh Ibnu Baz).
Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- REKENING DONASI :
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451
🔍 Apakah Roh Orang Meninggal Bisa Melihat Kita, Cara Menghilangkan Bisikan Setan Dalam Hati, Doa Datang Dari Umroh, Hukum Suami Melarang Istri Bertemu Orang Tuanya, Misanan Adalah, Asal Usul Tuhan