Pertanyaan:
Mohon penjelasannya ustadz, apa yang dimaksud dengan mujassimah? Karena ada yang mengatakan kalau kita meyakini Allah ta’ala istiwa di atas Arsy, Allah ta’ala memiliki tangan untuk mencipta dan menggenggam, Allah ta’ala turun ke langit dunia, berarti kita mujassimah.
Jawaban:
Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, kama yuhibbu rabbuna wa yardha. Ash shalatu was salamu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in. Amma ba’du,
Sekte-Sekte yang Memiliki Pemikiran Tajsim
Pemikiran tajsim, pelakunya disebut mujassimah, adalah satu satu firqah (sekte) yang menyimpang, yang meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki jism (badan) seperti manusia, namun tidak sama dengan semua manusia yang ada.
Dewan Fatwa Islamweb menjelaskan,
المجسم هو من يصور الله بجسم وصورة مثل الهشامية الذي يقولون إن الله سبعة أشبار بشبر نفسه، تعالى الله عما يقول الظالمون علوا كبيرا. والمشبه من شبه صفات الله بصفات الخلق، والتشبيه يؤدي للتجسيم
“Al Mujassim adalah sekte yang menggambarkan bahwa Allah memiliki jism (badan) dan shurah (bentuk). Seperti sekte Hisyamiyah yang mengatakan bahwa Allah itu berukuran tujuh jengkal dengan ukuran jengkal milik Allah sendiri. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sebutkan itu, yang merupakan kezaliman yang besar (terhadap Allah). Sedangkan tasybih adalah orang yang menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk. Tasybih akan membawa kepada tajsim” (Fatwa Islaweb no. 112402).
Juga dijelaskan,
وزعم بعضهم أن صورته على صورة خلق الإنسان، له شعر ولحم ودم وجوارح
“Sebagian mujassimah mengklaim bahwa bentuk Allah ta’ala sama seperti bentuk manusia, memiliki rambut, daging, darah dan anggota badan” (Fatwa Islamweb no. 42748).
Oleh Abul Hasan Al Asy’ari dalam kitab Maqalat Islamiyyin, pemikiran tajsim ini dianggap sebagai pemikirannya Muqatil bin Sulaiman Al Balkhi (wafat 150H), penulis kitab Tafsir Al Kabir atau Tafsir Muqatil.
Syaikh Dr. Abdullah bin Shalih Al Ghasan menjelaskan bahwa ada tiga sekte besar yang memiliki pemikiran tajsim, yaitu:
1. Sekte Hisyamiyah, pengikut Hisyam bin Al Hakam. Mereka meyakini bahwa Allah itu memiliki ukuran panjang, lebar dan tebal. Dan panjangnya sama dengan lebarnya, lebarnya sama dengan tebalnya. Dan bahwasanya Allah memiliki warna, rasa dan aroma. Dan bahwasanya Allah itu berukuran tujuh jengkal dengan ukuran jengkal milik Allah sendiri.
2. Sekte Al Jawaribiyah, pengikut Daud Al Jawaribi. Mereka mengklaim bahwa Allah ta’ala memiliki rambut, daging, darah dan semua anggota badan manusia kecuali kemaluan dan jenggot.
3. Sekte Karomiyah, pengikut Muhammad bin Karom as Sijistani. Mereka mengklaim bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti manusia dan itu adalah sumber dari semua bentuk manusia.
Dan ada sekte-sekte lainnya yang memiliki pemikiran tajsim dengan pemikiran yang berbeda-beda dan bermacam-macam.
(Da’awa al-Munawi’in li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 139 – 161).
Ahlussunnah Mengingkari Tajsim dan Tasybih
Akidah tajsim merupakan bagian dari tasybih, yaitu meyakini bahwa Allah ta’ala semisal dengan makhluk-Nya. Ini adalah akidah yang diingkari oleh para salafus shalih dan semua ulama Ahlussunnah. Tidak ada di antara mereka yang meyakini bahwa Allah mirip atau semisal dengan para hamba-Nya.
Berdasarkan firman Allah ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Allah tidak semisal dengan suatu apapun. Namun ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11).
Allah ta’ala juga berfirman:
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Jangan kalian membuat permisalan untuk Allah. Karena Allah lebih mengetahui dan kalian tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 74).
Abu Utsman Ali Ash Shabuni rahimahullah mengatakan:
ويثبتون له جل جلاله ما أثبته لنفسه في كتابه، وعلى لسان رسوله صلّى الله عليه وسلّم، ولا يعتقدون تشبيهاً لصفاته بصفات خلقه
“Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat bagi Allah jalla jalaluhu sesuai dengan sifat-sifat yang Ia tetapkan dalam kitab-Nya. Dan ditetapkan oleh lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. Ahlussunnah tidak meyakini bolehnya menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya” (Aqidatus Salaf wa Ash-habil Hadits, hal. 160).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
ومذهب السلف بين مذهبين، وهدي بين ضلالتين، إثبات الصفات ونفي مماثلة المخلوقات، فقوله تعالى:لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ [الشورى:11]. رد على أهل التشبيه والتمثيل، وقوله:وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [الشورى:11]. رد على أهل النفي والتعطيل
“Madzhab salaf itu di antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Madzhab salaf pertengahan antara dua kubu yang menyimpang. Madzhab salaf menetapkan sifat-sifat Allah namun menafikan adanya keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Allah tidak serupa dengan satu apapun” (QS. Asy Syura: 11). Ayat ini membantah orang yang berpemikiran tasybih dan tamtsil. Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11). Ayat ini membantah orang yang menafikan sifat Allah” (Majmu Al Fatawa, 5/196).
Demikian juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dijelaskan Islamweb:
وأما الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب -رحمه الله- فقد شهد له العلماء المنصفون بالعلم والاستقامة والصلاح، وهو المصلح المجدد لما اندرس من معالم التوحيد في زمنه رحمه الله، وهو بريء من التشبيه والتجسيم
“Adapun Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, telah dipersaksikan oleh para ulama yang adil bahwa beliau adalah ulama yang istiqomah melakukan perbaikan umat. Beliau adalah orang yang memperbaiki umat dan memperbaharui penerapan agama ketika masyarakat sudah jauh dari tauhid di zamannya. Dan beliau berlepas diri dari tasybih dan tajsim” (Fatwa Islaweb no. 19144).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “Golongan kedua yang sesat dalam bab nama dan sifat Allah adalah al musyabbihah, yang mereka menetapkan nama dan sifat Allah disertai penyerupaan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya. Dengan dalih bahwasanya itu adalah konsekuensi dari dalil dan bahwasanya Allah berbicara kepada para hamba-Nya dengan apa yang mereka pahami. Ini adalah klaim yang batil” (Nubdzah fil Aqidah al-Islamiyah, hal. 28).
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelaslah bahwa Ahlussunnah berlepas diri dari akidah tasybih dan tajsim.
Menetapkan Sifat Secara Hakiki Adalah Ijma Salaf
Akidah Ahlussunnah adalah menetapkan nama-nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah secara hakiki dan apa adanya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menegaskan, “Iman terhadap nama dan sifat Allah adalah menetapkan nama-nama dan sifat Allah yang ditetapkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, atau ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam Sunnahnya, dengan nama dan sifat yang layak bagi Allah, tanpa melakukan tahrif (mengubah teks atau makna), tanpa ta’thil (menolak makna), tanpa takyif (menggambarkan) dan tanpa tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk)” (Nubdzah fil Aqidah al-Islamiyah, hal. 27).
Dan tidak ada di antara salafus shalih yang mentakwil ayat-ayat sifat. Semisal ayat-ayat bahwa Allah memiliki tangan, memiliki dua mata, memiliki kaki dan semisalnya. Mereka ijma (sepakat) untuk memahami ayat-ayat tentang sifat Allah apa adanya, sesuai makna zhahirnya tanpa di-takwil atau di-tahrif, tanpa digambarkan bagaimana sifatnya, dan tanpa diserupakan dengan makhluk-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
أَنَّ جَمِيعَ مَا فِي الْقُرْآنِ مِنْ آيَاتِ الصِّفَات فَلَيْسَ عَنْ الصَّحَابَةِ اخْتِلَافٌ فِي تَأْوِيلِهَا. وَقَدْ طَالَعْت التَّفَاسِيرَ الْمَنْقُولَةَ عَنْ الصَّحَابَةِ وَمَا رَوَوْهُ مِنْ الْحَدِيثِ وَوَقَفْت مِنْ ذَلِكَ عَلَى مَا شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ الْكُتُبِ الْكِبَارِ وَالصِّغَارِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ تَفْسِيرٍ فَلَمْ أَجِدْ – إلَى سَاعَتِي هَذِهِ – عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ تَأَوَّلَ شَيْئًا مِنْ آيَاتِ الصِّفَاتِ أَوْ أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ بِخِلَافِ مُقْتَضَاهَا الْمَفْهُومِ الْمَعْرُوفِ
“Semua ayat-ayat tentang sifat Allah di dalam Al Qur’an, tidak ada perbedaan di antara para sahabat Nabi dalam menafsirkannya. Aku telah menelaah kitab-kitab tafsir yang mengandung riwayat-riwayat dari para sahabat Nabi, dan juga perkataan para sahabat dalam hadits-hadits, dan aku telah mencarinya dalam waktu yang lama, sesuai dengan yang Allah kehendaki, dari kitab-kitab besar dan kitab-kitab kecil, lebih dari 100 kitab tafsir. Namun aku tidak menemukan sampai sekarang ada seorang sahabat Nabi pun yang menakwilkan satu saja dari ayat-ayat tentang sifat Allah atau menakwilkan hadits-hadits tentang sifat Allah sehingga mereka tidak memaknainya sesuai makna yang dipahami dari ayat” (Al Majmu’ Al Fatawa, 6/394).
Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan:
أهلُ السُّنَّةِ مُجمِعون على الإقرارِ بالصِّفاتِ الواردةِ كُلِّها في القُرآنِ والسُّنةِ، والإيمانِ بها، وحمْلِها على الحقيقةِ لا على المجازِ، إلَّا أنَّهم لا يكَيِّفون شيئًا من ذلك، ولا يَحُدُّون فيه صفةً محصورةً
“Ahlussunnah sepakat untuk menetapkan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah semuanya, dan mengimani semuanya, serta memaknainya secara hakiki bukan secara majaz. Namun Ahlussunnah tidak mendeskripsikan sifat-sifat tersebut sama sekali dan tidak membatasi dengan sifat-sifat tertentu” (At Tamhid, 7/145).
Imam Malik rahimahullah berkata:
إيَّاكم والبِدَعَ، قيل: وما البِدَعُ؟ قال: (أهلُ البِدَعِ هم الذين يتكَلَّمونَ في أسْماءِ اللهِ وصِفاتِه وكَلامِه وعِلْمِه وقُدرتِه، ولا يَسكُتونَ عَمَّا سَكَت عنه الصَّحابةُ والتَّابِعونَ لهم بإحسانٍ
“Jauhilah bid’ah!”. Lalu ada yang bertanya, “Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), bid’ah itu apa?”. Beliau menjawab, “Ahlul bid’ah adalah orang-orang yang berbicara masalah nama Allah, sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah dan qudrah Allah, namun mereka berkata-kata dalam hal tersebut yang tidak pernah dikatakan oleh para sahabat dan tabi’in” (Ahadits fi Dzammil Kalam, karya Al Muqri’, hal. 82).
Apakah Menetapkan Sifat Berarti tajsim?
Kita telah sampaikan ijma salaf tentang hal ini dan perkataan para imam-imam besar Ahlusunnah yang menetapkan ayat-ayat serta hadits-hadits sifat apa adanya tanpa mentakwil. Jika menetapkan nama dan sifat Allah secara hakiki dan apa adanya dianggap tajsim, sama saja menuduh para salaf dan para imam Ahlussunnah melakukan tajsim.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah pun mengimani ayat-ayat dan hadits-hadits sifat apa adanya, beliau mengatakan:
آمَنْتُ باللهِ، وبما جاء عن اللهِ على مُرادِ اللهِ، وآمَنتُ برَسولِ اللهِ وبما جاء عن رَسولِ اللهِ على مُرادِ رَسولِ اللهِ
“Aku beriman kepada Allah dan beriman kepada ayat-ayat yang datang dari Allah sesuai dengan makna yang Allah inginkan. Aku beriman kepada Rasulullah, dan beriman kepada sabda-sabda yang datang dari Rasulullah, sesuai dengan makna yang Rasulullah inginkan” (Lum’atul I’tiqad, hal. 7).
Kemudian, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa orang-orang yang menolak untuk menetapkan sifat-sifat Allah apa adanya akan terjerumus pada dua kebatilan:
Pertama, secara tidak langsung mereka menuduh bahwasanya ayat-ayat Al Qur’an itu kontradiktif. Karena sebagiannya menetapkan sifat-sifat bagi Allah termasuk sifat tangan, mata dan kaki. Dan sebagiannya menafikan keserupaan Allah dengan makhluk. Jika menetapkan sifat-sifat di atas termasuk tajsim, maka sama saja menuduh Al Qur’an kontradiktif.
Kedua, adanya kesamaan nama atau sifat pada dua hal tidak berkonsekuensi dua hal tersebut sama dan serupa. Contohnya Anda melihat dua orang A dan B yang sama-sama mendengar, melihat dan berbicara. Namun tidak berarti pendengaran A dan B sama, tidak berarti penglihatan A dan B sama, tidak berarti kemampuan bicara A dan B sama. Jika demikian perbedaan yang terjadi pada dua makhluk, maka perbedaan antara makhluk dengan Allah lebih besar lagi (Nubdzah fil Aqidah al-Islamiyah, hal. 27-28).
Maka jelas bahwa menetapkan nama dan sifat Allah apa adanya secara hakiki, bukanlah tajsim. Nu’aim bin Hammad rahimahullah mengatakan:
من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف الله نفسه ورسوله تشبيهاً
“Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kufur. Siapa yang menolak menetapkan sifat yang Allah tetapkan untuk dirinya, maka dia kufur. Namun menetapkan sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya, bukanlah menyamakan Allah dengan makhluk” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah karya Al Lalikai, 3/532).
Mu’tazilah pun Menuduh Asy’ariyah sebagai Mujassimah
Jika orang yang berpegang pada akidah ini dituduh mujassimah (meyakini Allah punya jism [badan]), maka sesungguhnya tidak perlu dihiraukan. Karena semua yang menafikan sifat-sifat Allah akan menuduh orang-orang yang menetapkan sifat sebagai mujassimah.
Bahkan mu’tazilah pun menuduh asy’ariyah, karomiyah dan kullabiyah sebagai mujassimah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:
فالمعتزلة ، ونحوهم يسمُّون الصفاتية – الذين يقولون : إن الله تعالى حي بحياة ، عليم بعلم ، قدير بقدرة ، سميع بسمع ، بصير ببصر ، متكلم بكلام – يسمُّونهم : ” مجسِّمة ” ، ” مشبِّهة ” ، ” حشوية ” ، والصفاتية هم : السلف ، والأئمة ، وجميع الطوائف المثبتة للصفات : كالكلابية ، والكرامية ، والأشعرية ، والسالمية ، وغيرهم من طوائف الأمة
“Mu’tazilah dan yang semisal mereka, melabeli orang-orang shifatiyyah (yaitu yang meyakini Allah punya sifat hidup, ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, berfirman) sebagai “mujassimah“, atau “musyabbihah“, atau “hasyawiyah“. Dan orang-orang shifatiyyah yang dimaksud di sini adalah: para salaf dan imam-imamnya, dan seluruh sekte yang menetapkan (sebagian sifat) seperti kulabiyah, karomiyah, asy’ariyah, salimiyah dan sekte lainnya” (Majmu’ Al Fatawa, 6/40).
Dan sejak dahulu ahlul bid’ah memang biasa melabeli Ahlussunnah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Abu Hatim Ar Razi rahimahullah mengatakan:
علامةُ أهل البدع الوقيعةُ في أهل الأثر، وعلامةُ الزَّنادقة تسميتُهم أهلَ الأثر حشويَّةً، يريدون بذلك إبطالَ الأثر، وعلامةُ القدرية تسميتُهم أهلَ السنَّة مُجْبِرَةً، وعلامةُ الجهميَّة تسميتُهم أهلَ السنَّة مشبِّهةً، وعلامةُ الرافضة تسميتُهم أهلَ الأثر نابتةً وناصبةً
* Ciri-ciri ahlul bid’ah adalah senang mencela Ahlul Atsar (orang-orang yang berpegang pada hadits)
* Ciri-ciri orang zindiq (munafik) adalah senang melabeli Ahlul Atsar dengan sebutan Hasyawiyyah, karena mereka ingin menolak atsar (hadits)
* Ciri-ciri Qadariyah adalah senang melabeli Ahlussunnah dengan sebutan Mujbirah (Jabariyah)
* Ciri-ciri Jahmiyah adalah senang melabeli Ahlussunnah dengan sebutan Musyabbihah
* Ciri-ciri Rafidhah adalah senang melabeli Ahlul Atsar dengan sebutan Nabitah atau Nashibah (Nashibi)
(Aqidatus Salaf Ashabil Hadits, hal. 105).
Sehingga tuduhan seperti ini sejatinya tidak perlu dihiraukan. Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kaum muslimin agar berakidah yang benar sebagaimana akidah salafus shalih dan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang menyimpang kepada jalan yang benar.
Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alain, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wal ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK (Kode BSI: 451)
🔍 Arti Telinga Berdenging Sebelah Kanan Menurut Islam, Apa Yang Dimaksud Dengan Tartil, Cara Menghilangkan Sifat Pemarah, Puasa Daud Harus Berapa Lama, Hadits Sholat Tepat Waktu, Letak Cincin Nikah Menurut Islam