Pertanyaan:
Apa benar bahwa pinjam uang riyal kepada muthawif kemudian dikembalikan nanti ini mengandung riba? Karena ana pernah meminjam uang kepada muthawif ketika umrah, saat itu ingin membeli sesuatu namun uang riyalnya kurang. Mohon penjelasannya ustadz.
Jawaban:
Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,
Yang disebut muthawif adalah orang yang ditunjuk oleh biro perjalanan haji atau umrah, yang bertugas untuk melayani kebutuhan jama’ah haji atau umrah selama di tanah suci.
Memang benar kita dapati bahwa jama’ah haji atau umrah biasa meminjam uang riyal kepada muthawif untuk membeli kebutuhan-kebutuhan di tanah suci. Karena biasanya muthawif memiliki uang riyal dan juga uang rupiah sekaligus. Sehingga ini lebih mudah daripada harus menukar uang di money changer.
Untuk membahas masalah ini, kita katakan bahwa jama’ah umrah atau haji ketika meminjam uang riyal dari muthawif, ada beberapa kemungkinan:
Pertama, meminjam uang riyal lalu ditukar dengan rupiah saat itu juga.
Praktek seperti ini disebut dengan transaksi ash-sharf. Ash-sharf adalah menukarkan mata uang dengan mata uang lainnya, baik sama atau berbeda jenisnya. Hukumnya boleh jika terpenuhi syarat-syaratnya. Ini adalah pendapat 4 madzhab. Berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهبُ بالذَّهبِ . والفضَّةُ بالفِضَّةِ . والبُرُّ بالبُرِّ . والشعِيرُ بالشعِيرِ . والتمْرُ بالتمْرِ . والمِلحُ بالمِلحِ . مِثْلًا بِمِثْلٍ . سوَاءً بِسَواءٍ . يدًا بِيَدٍ . فإذَا اخْتَلَفَت هذهِ الأصْنَافُ ، فبيعوا كيفَ شئْتُمْ ، إذَا كانَ يدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Al-Bukhari no.2175, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafadz Muslim).
Dalam hadis ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)”. Ini menunjukkan bolehnya sharf jika serah-terima langsung.
Dalam hadis dari Sulaiman bin Muslim rahimahullah tentang transaksi sharf, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ما كان يدًا بيَدٍ فخُذوه، وما كان نَسيئةً فذَرُوه
“Jika serah-terimanya langsung, maka silakan ambil. Namun jika tertunda maka tinggalkanlah”. (HR. Bukhari no. 2497، 2498, Muslim no. 1589).
Dan hanya ada satu syarat bolehnya sharf untuk mata uang yang berbeda yaitu harus terjadi serah terima langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka termasuk riba nasi’ah.
Oleh karena itu jika jama’ah meminjam uang muthawif berupa uang riyal lalu ditukar dengan uang rupiah saat itu juga secara langsung, ini dibolehkan.
Kedua, meminjam uang riyal lalu dikembalikan nanti berupa uang riyal juga.
Ini juga merupakan transaksi sharf namun dengan mata uang yang sejenis. Dalam kasus ini disyaratkan harus sama nilainya, tidak boleh ada penambahan. Jika jama’ah meminjam uang 100 riyal, maka nanti ia harus mengembalikan sejumlah 100 riyal juga. Tidak boleh disyaratkan adanya uang tambahan dalam kasus ini. Semisal jama’ah meminjam uang 100 riyal, maka nanti ia harus mengembalikan sejumlah 110 riyal. Ini tidak diperbolehkan karena termasuk riba fadhl.
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، والْفِضَّةُ بالفِضَّةِ، والْبُرُّ بالبُرِّ، والشَّعِيرُ بالشَّعِيرِ، والتَّمْرُ بالتَّمْرِ، والْمِلْحُ بالمِلْحِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، يَدًا بيَدٍ، فمَن زادَ، أوِ اسْتَزادَ، فقَدْ أرْبَى
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba” (HR. Muslim, no. 1584).
Wajib mengembalikan dengan jumlah yang sama walaupun mata uang tersebut terjadi fluktuasi nilai. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
الْمُسْتَقْرِض يَرُدُّ الْمِثْلَ فِي الْمِثْلِيَّاتِ ، سَوَاءٌ رَخُصَ سِعْرُهُ أَوْ غَلَا ، أَوْ كَانَ بِحَالِهِ
“Orang yang berhutang ia wajib mengembalikan harta yang ia pinjam semisal dengan ketika ia meminjam. Baik nilainya berkurang atau naik, ataupun nilainya masih sama” (Al-Mughni, 6/441).
Oleh karena itu, jama’ah boleh meminjam uang riyal kepada muthawif lalu dikembalikan nanti berupa uang riyal juga namun harus dengan jumlah yang sama. Tidak boleh disyaratkan adanya tambahan.
Ketiga, meminjam uang riyal lalu dikembalikan nanti berupa uang rupiah.
Ada dua kemungkinan dari kasus ketiga ini:
Kemungkinan pertama:
Jama’ah dan muthawif sejak awal sudah sepakat bahwa pembayaran hutang nanti dengan menggunakan uang rupiah.
Transaksi seperti ini diharamkan karena ini sama saja dengan penukaran uang riyal dengan rupiah namun tertunda. Sehingga ini termasuk riba nasi’ah sebagaimana telah dijelaskan pada poin pertama.
Dalam ketetapan muktamar Majma’ Fiqhil Islami no. 115, pada tanggal 25 Jumadil Akhirah 1421 H, disebutkan:
لا يَجوزُ شَرْعًا الاتِّفاقُ عنْدَ إبْرامِ العَقْدِ على رَبْطِ الدُّيونِ الآجِلةِ بشيءٍ مِمَّا يلي: أ- الرَّبْطُ بمُؤَشِّرِ تَكاليفِ المَعيشةِ أو غَيْرِه مِن المُؤَشِّراتِ. ب- الرَّبْطُ بالذَّهَبِ أو الفِضَّةِ. ج – الرَّبْطُ بسِعْرِ سِلْعةٍ مُعَيَّنةٍ. د- الرَّبْطُ بعُمْلةٍ حِسابيَّةٍ. هـ – الرَّبْطُ بمُعَدَّلِ نُمُوِّ النَّاتِجِ القَوْميِّ. و- الرَّبْطُ بعُمْلةٍ أخرى. ز- الرَّبْطُ بسِعْرِ الفائِدةِ. ح – الرَّبْطُ بمُعدَّلِ أسْعارِ سَلَّةٍ مِن السِّلَعِ. وذلك لِما يَتَرَتَّبُ على هذا الرَّبْطِ مِن غَرَرٍ كَثيرٍ وجَهالةٍ فاحِشةٍ، بحيثُ لا يَعرِفُ كلُّ طَرَفٍ ما له وما عليه، فيَخْتَلُّ شَرْطُ المَعْلوميَّةِ المَطْلوبُ لصِحَّةِ العُقودِ، وإذا كانَتْ هذه الأشْياءُ المَرْبوطُ بها تَنْحو مَنْحى التَّصاعُدِ فإنَّه يَتَرَتَّبُ على ذلك عَدَمُ التَّماثُلِ بَيْنَ ما في الذِّمَّةِ وما طُلِبَ أداؤُه، وهذا مَشْروطٌ في العَقْدِ، فتَكونُ فيه شُبْهةُ الرِّبا
“Tidak diperbolehkan menurut syariat, ketika dua orang sedang melakukan akad hutang-piutang untuk menyepakati hal-hal berikut ini:
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel biaya hidup atau variabel lainnya.
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel harga emas atau perak.
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel harga barang tertentu.
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel kurs mata uang tertentu.
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel nilai kurs mata uang lain.
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel tingkat bunga.
- Menentukan nominal pelunasan dengan variabel nilai kelompok barang tertentu.
Hal ini karena penentuan seperti ini akan menimbulkan banyak gharar dan ketidak-jelasan yang nyata. Sehingga setiap pihak tidak mengetahui seberapa nilai yang akan didapatkannya atau dibayarkannya kelak. Sehingga syarat adanya kejelasan yang diperlukan untuk keabsahan akad tidaklah terpenuhi. Dan jika hal-hal yang disebutkan di atas cenderung meningkat nilainya, maka akan timbul ketidak-setaraan antara apa yang terutang dan apa yang dibayarkan. Sedangkan hal ini disepakati di awal akad, sehingga terdapat kemiripan seperti riba”.
Para ulama dalam Darul Ifta’ Jordania memfatwakan:
يَجوزُ للمُقْترِضِ وَفاءُ قَرْضِه بغَيْرِ الجِنْسِ أو النَّوْعِ الَّذي اقْتَرَضَ به، كالذَّهَبِ بَدَلًا مِن الأوْراقِ النَّقْدِيَّةِ، ولكن بشَرْطَينِ: الأوَّلُ: ألَّا يكونَ قد سَبَقَ الاتِّفاقُ على هذا الأمْرِ «عنْدَ الاتِّحادِ في عِلَّةِ الرِّبا»، بل عَرَضَ عنْدَ الوَفاءِ؛ فإنَّ الاتِّفاقَ على الوَفاءِ بالذَّهَبِ بَدَلًا عن الأوْراقِ مِن غَيْرِ تَنْفيذِ ذلك عاجِلًا يوقِعُ في رِبا النَّسيئةِ. الثَّاني: أن يُعتَمَدَ سِعْرُ الذَّهَبِ يَوْمَ الوَفاءِ، وليس يَوْمَ القَرْضِ
“Peminjam boleh melunasi pinjamannya dengan alat pembayaran yang berbeda dari jenis yang dipinjam, seperti berhutang uang kertas lalu dibayar dengan emas. Namun harus terpenuhi dua syarat:
- Tidak ada kesepakatan sebelumnya mengenai ini, ketika dua alat pembayaran tersebut illah-nya sama. Namun kesepakatan tersebut terjadi saat pelunasan. Karena adanya kesepakatan untuk melunasi dengan emas sebagai pembayaran dari hutang uang kertas tanpa melihat syarat ini, akan menjerumuskan ke dalam riba nasi’ah.
- Berpatokan pada harga emas yang berlaku di hari pelunasan, bukan pada hari melakukan pinjaman”.
(Fatwa Darul Ifta’ Jordania, no.2023).
Kemungkinan kedua:
Jama’ah dan muthawif belum ada kesepakatan bagaimana cara pembayaran hutangnya nanti, mereka baru sepakat untuk menggunakan uang rupiah disaat jama’ah ingin melunasi. Dan untuk kemungkinan ini, pembayarannya wajib menggunakan kurs riyal di hari pelunasan, bukan kurs riyal di hari meminjam.
Dalam ketetapan Majma’ Fiqhil Islami no. 115, pada tanggal 25 Jumadil Akhirah 1421 H, disebutkan:
يجوز أن يتفق الدائن والمدين يوم السداد ـ لا قبله ـ على أداء الدين بعملة مغايرة لعملة الدَّين، إذا كان ذلك بسعر صرفها يوم السداد
“Dibolehkan orang yang berhutang dan pemberi hutang untuk melakukan pembayaran hutang dengan mata uang lain, di hari pelunasan. Namun harus dengan kurs yang berlaku di hari pelunasan”.
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:
يجوز أن تسددها له في الجزائر بمثلها عملة فرنسية أو بقدر صرفها يوم السداد من العملة الجزائرية، مع القبض قبل التفرق
“Dibolehkan bagi Anda untuk membayar hutang Anda di Aljazair dengan nilai yang sama menggunakan mata uang Perancis sesuai dengan kurs pada hari pelunasan, dengan syarat serah-terima harus dilakukan sebelum mereka berpisah” (Fatawa Al-Lajnah, 14/143).
Dan pembayaran hutang dengan mata uang berbeda, tidak boleh meminta pembayaran melebihi kurs namun boleh jika memberi kelonggaran pembayaran kurang dari kurs. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:
فمثلاً إذا كانت 2000دولار تساوي الآن 2800جنيه لا يجوز أن تأخذ منه ثلاثة آلاف جنيه ولكن يجوز أن تأخذ 2800جنيه، ويجوز أن تأخذ منه 2000دولار فقط يعنى أنك تأخذ بسعر اليوم أو بأنزل ، أي لا تأخذ أكثر لأنك إذا أخذت أكثر فقد ربحت فيما لم يدخل في ضمانك
“Misalnya jika 2000 dolar saat ini setara dengan 2800 pound, tidak boleh meminta pembayaran hutang sebesar 3000 pound darinya. Tetapi boleh meminta pembayaran 2800 pound, dan boleh juga meminta pembayaran hanya 2000 dolar saja. Yang berarti Anda meminta pembayaran dengan harga saat ini atau harga yang lebih rendah. Maksud saya, jangan meminta pembayaran melebihi kurs hari ini. Karena jika Anda mengambil lebih, Anda telah mendapatkan keuntungan dari hutang-piutang” (Fatawa Al-Islamiyah, 2/414).
Adapun jika penghutang melunasi hutang dengan nominal lebih besar diminta dan tanpa kesepakatan di awal, ini tidak mengapa. Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ
“Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadis Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al-Irbadh, dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).
Kesimpulan
Jama’ah haji atau umrah boleh saja meminjam uang riyal kepada muthawif. Namun pembayarannya bisa dengan salah satu saja berikut ini:
- Membayar dengan uang rupiah saat itu juga, sehingga ini berarti sama dengan menukar uang.
- Pembayarannya nanti menggunakan uang riyal juga.
- Pembayarannya nanti namun tanpa ada kesepakatan di awal bagaimana bentuk pelunasannya. Jika di hari pelunasan baru disepakati untuk menggunakan uang rupiah, ini dibolehkan.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
***
URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV
Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur.
Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi)
PayPal: [email protected]
Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?
🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani