Oleh:
Asyrafuddin Khan
Sudah menjadi kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita —anak keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam— lahir di muka bumi ini, kita tumbuh dan berkembang di atas tanah ini, dan kita hidup, mati, dan dikubur di bawah tanah ini, kemudian kita akan dibangkitkan darinya ke Tanah Mahsyar, baru kemudian antara ke surga, negeri keabadian dan penuh kenikmatan, atau ke neraka Jahannam, negeri kehinaan dan azab yang pedih, naudzubillah. Demikianlah rute perjalanan hidup manusia.
Dunia sebagai tempat kita hidup ini bukanlah tempat menetap kita, tapi hanya sebagai lorong yang harus kita lalui menuju alam akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan bagi kita dengan syariat yang suci yang menjamin bagi kita kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat sekaligus.
Dunia merupakan tempat kita menanam untuk akhirat, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada kita tentang itu. Kita menabur di dunia dan menuai di akhirat. Dunia dijadikan tempat menetap oleh orang yang tidak punya tempat di akhirat, dan dunia dikumpulkan oleh orang yang tidak punya akal sehat, sebagaimana yang dapat kita pahami dari redaksi hadits.
Di antara tanda keimanan seseorang terhadap kefanaan dunia dan keabadian akhirat adalah menjaga jarak dari dunia yang melenakan ini dan condong kepada negeri keabadian serta mempersiapkan diri untuk kematian sebelum benar-benar datang.
Manusia tidak dapat keluar dari dunia ini kecuali melalui kematian, sehingga manusia harus hidup di dunia terlebih dahulu dan beramal di sana untuk menjadikan kehidupan akhiratnya bahagia.
Manusia hidup di dunia ini dengan jasad dan anggota badannya, tapi ruh, hati, dan pikirannya mengarungi bayangan akhirat, bersungguh-sungguh di dunia demi dapat bahagia di akhirat, menahan diri di dunia dari kenikmatan dan syahwatnya demi dapat meraih keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat.
Ia melukis sendiri hasil amalan dan ganjarannya di akhirat terlebih dahulu, sebelum melangkahkan kakinya untuk suatu amalan yang akan dilakukan. Inilah yang kami maksud dengan ungkapan, “Hidup di dunia dengan nafas akhirat.”
Seorang Mukmin hakiki hidup di dunia bersama sesama manusia lainnya, turut serta dalam kebahagiaan dan kesedihan mereka, dan berkontribusi dalam kegiatan mereka. Namun, dia tidak tenggelam dalam gelombang dunia dan tidak lalai dari tujuan utamanya. Dia selalu ingat bahwa di depannya terdapat kehidupan abadi yang akan menjadi tempat kenikmatan bagi orang-orang yang bertakwa dan tempat kesengsaraan bagi orang-orang yang kafir.
Ayat-ayat Al-Qur’an telah memberi kita gambaran tentang hakikat kehidupan dunia dengan gambaran yang teramat jelas. Kita sebutkan salah satunya sebagai contoh sekilas, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang (dapat) dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang.
Lalu, Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir.” (QS. Yunus: 24).
Sudah menjadi tabiat dunia ini bahwa ia tidak terpaku pada satu keadaan, tapi cepat sekali hilang dan lenyap. Oleh sebab itu, seorang insan yang hidup di dalamnya harus mengambil pelajaran dari sifat dunia ini, dan memanfaatkannya untuk kehidupan akhiratnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Seorang hamba mengatakan, ‘Hartaku! Hartaku!’ Padahal hartanya yang menjadi miliknya hanya tiga, yang dia makan lalu habis, yang dia pakai lalu usang, atau yang dia berikan lalu menjadi milik orang lain. Adapun selain itu akan lenyap dan akan dia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda:
“Siapa yang mencintai dunianya pasti akan merugikan akhiratnya, dan siapa yang mencintai akhiratnya pasti akan merugikan dunianya. Oleh sebab itu, utamakanlah yang kekal daripada yang fana.” (HR. Ahmad).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpamakan dunia yang fana ini seperti naungan pohon yang dijadikan tempat berteduh oleh seorang musafir yang kelelahan, kemudian dia meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah tidur beralaskan tikar. Lalu beliau bangun dan menyisakan bekas tikar di badan beliau. Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Kalaulah engkau menyuruh kami untuk menghamparkan tempat tidur yang lebih baik bagi engkau?!” Kemudian beliau menanggapi:
“Apa urusanku dengan dunia ini, aku dan dunia ini tidak lain hanyalah seperti musafir yang berteduh di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pohon itu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Kita dapati dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa ia selalu mengajak para pembacanya untuk mencermati sifat dan keadaan dunia, lalu mengajak kita juga untuk mencermati sifat dan keadaan akhirat. Sebagai salah satu contohnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tumbuhan) yang indah. Demikianlah (penciptaan manusia) itu karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dialah yang Maha Benar dan sesungguhnya Dia menghidupkan orang-orang yang mati dan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.” (QS. Al-Hajj: 5-7).
Ayat tersebut memberi kita gambaran tentang keadaan bumi yang kering, lalu mulai menumbuhkan biji dan tumbuhan dengan berbagai jenisnya, yang menjadi gambaran tentang kuasa Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menghidupkan orang-orang mati pada hari ditiupnya sangkakala. Ini merupakan salah satu metode menarik perhatian manusia dari keadaan dunia menuju keadaan akhirat.
Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mendidik para sahabat beliau dengan didikan yang berorientasi pada akhirat. Para sahabat beliau hidup di muka bumi, tapi pandangan mereka selalu terpaut dengan akhirat.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah berjumpa dengan seseorang yang bernama Haritsah di salah satu gang kota Madinah. Beliau lalu bertanya, “Bagaimana pagi harimu, wahai Haritsah?” Ia menjawab, “Pagi hari ini saya dalam keadaan beriman sebenar-benarnya.” Beliau lalu bertanya lagi, “Setiap iman itu ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?” Ia menjawab, “Diriku telah mengetahui dunia, sehingga aku berpuasa di siang hari dan Shalat Malam di malam hari, seakan-akan arsy Tuhanku tampak olehku, seakan-akan aku melihat para penghuni surga bersenang-senang di dalamnya, dan seakan-akan aku melihat para penghuni neraka diazab di dalamnya.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Kamu di atas kebenaran, maka konsistenlah! Kamu orang beriman yang hatinya diberi cahaya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Mari kita cermati pula beberapa doa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang beliau contohkan: kita temui makna-makna tersebut banyak terhimpun dalam redaksinya. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Ya Allah, dengan-Mu kami memasuki waktu pagi dan dengan-Mu kami memasuki waktu petang. Dengan-Mu kami hidup dan dengan-Mu kami mati serta hanya kepada-Mu kami dibangkitkan.” Beliau juga membaca doa ketika bangun tidur:
“Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitkan.”
Doa-doa seperti ini semakin mengingatkan kita terhadap akhirat, menuntun kita dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dan mengokohkan dalam jiwa orang-orang beriman bahwa kehidupan dunia ini bukanlah akhir, tapi lorong yang menuntun kita menuju kehidupan yang abadi.
Mari kita bayangkan bersama makna ini —yakni tentang hidup di dunia dengan nafas akhirat— dalam sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” Hadits yang mulia ini menjadikan seorang mukmin yang berpuasa merindukan perjumpaan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar dapat meraih pahala akhirat secara sempurna.
Mari kita bayangkan bersama juga bagaimana keindahan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah beliau berbuka puasa:
“Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, serta pahala telah ditetapkan, InsyaAllah.”
Yakni ini merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba setelah berbuka puasa dengan rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia mengucapkan, “Telah hilang rasa haus” yang sebelumnya ia rasakan sepanjang siang; “dan urat-urat telah basah” yakni yang sebelumnya mengering. Kemudian doa ini tidak hanya cukup sampai di sini, tapi berpindah ke sisi yang sebenarnya, yaitu lelah dan letih dari puasa ini semoga telah dicatat pahalanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di buku catatan amalannya.
Dikisahkan bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha memperbagus dan memberi parfum pada uang yang hendak diinfakkan kepada orang fakir. Beliau berkata, “Uang ini sampai di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mulia sebelum sampai di tangan orang fakir.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menamai salah satu istana surga dengan nama istana pujian. Hal ini karena istana ini dikaruniakan kepada orang yang ketika ditinggal wafat anaknya yang masih kecil, ia bersabar atas musibah itu.
Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala bertanya kepada para malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa salah satu buah hati hamba-Ku, lalu apa yang ia perbuat?” Para malaikat lalu menjawab, “Dia memuji Engkau dan mengucapkan kalimat istirja’.” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada para malaikat, “Bangunkanlah baginya istana di surga, lalu namailah dengan istana pujian.”
Seorang mukmin yang berpuasa di dunia akan memiliki pintu surga bernama Ar-Rayyan. Seorang hamba mukmin yang mengucapkan, Subhanallah satu kali, dan Alhamdulillah satu kali akan ditanam baginya satu pohon di surga. Gambaran dan visualisasi seperti ini dapat menuntun seorang hamba dari alam dunia menuju alam akhirat.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Siapa yang membangun masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangunkannya istana di surga.”
Seorang mukmin yang membangun masjid ketika di dunia harus membayangkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala membangun istana baginya di surga. Bayangan dan penghayatan yang indah ini akan menjadikan seorang insan merasa bahwa tidak ada apa pun yang sia-sia dalam kehidupan orang yang beriman.
Semua usaha yang diusahakan orang yang beriman di hidupnya, semua musibah yang menimpanya lalu ia bersabar, setiap kehilangan yang ia rasakan pahitnya, dan setiap kekurangan yang terjadi dalam hidupnya telah terjamin pahala dan ganjarannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat kelak, sehingga tidak ada apa pun yang sia-sia di kehidupan orang yang beriman. Ini hanyalah masalah waktu saja.
Wahai insan yang lelah menghadapi kesulitan dunia! Hiduplah dengan nafas akhirat, niscaya kamu akan mendapati hidup ini penuh dengan kenikmatan dan kedamaian. Ingatlah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Kesudahan (yang baik, yakni surga) itu (disediakan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qasas: 83).
Sumber:
https://www.alukah.net/sharia/0/157742/العيش-في-الدنيا-بأنفاس-الآخرة/
🔍 Mengatasi Orang Kesurupan, Memilih Calon Suami Menurut Islam, Hukum Suami Menyusu Kepada Istri, Debat Islam Kristen Indonesia, Hukum Shalat Idul Adha Sendiri
