Bulan Ramadhan hampir tiba. Kaum Muslimin pun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Bulan yang penuh berkah dan keutamaan ini adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, yang menjadi petunjuk bagi manusia menuju kebahagiaan dan keselamatan di dunia serta akhirat. Maka tak heran jika kaum Muslimin menyambutnya dengan suka cita. Demikianlah Allah memberikan keutamaan kepada bulan ini yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.
1. Keutamaan Bulan Ramadhan
Keutamaan bulan Ramadhan sangat jelas dibandingkan bulan lainnya. Namun, kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas untuk menjadi motivasi bagi kaum Muslimin dalam beramal saleh. Di antara keutamaan tersebut adalah:
a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini, sebagaimana firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, bulan Ramadhan disebut sebagai bulan turunnya Al-Qur’an. Kemudian, pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang diawali dengan huruf fa (فَ) dalam firman-Nya: فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, hendaklah dia berpuasa). Huruf ini berfungsi menunjukkan makna sebab dan alasan. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sebab utama diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan adalah karena bulan ini merupakan waktu turunnya Al-Qur’an.
b. Setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka
Dalam bulan ini, Allah membelenggu para setan, menutup pintu-pintu neraka, serta membuka pintu-pintu surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Jika datang bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, serta dibelenggu para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, kita dapati bahwa dalam bulan ini kejahatan dan kerusakan di bumi berkurang. Hal ini disebabkan oleh kesibukan kaum Muslimin dalam berpuasa, membaca Al-Qur’an, serta melaksanakan berbagai ibadah lainnya, serta karena para setan dibelenggu sehingga tidak sebebas bulan-bulan lainnya dalam menyesatkan manusia.
c. Terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan
Di dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1–3)
Melihat berbagai keutamaan ini, sudah selayaknya seorang Muslim lebih bersemangat dalam menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dapat meraih keberkahannya.
(Diringkas dari Sifat Shaum an-Nabi karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cetakan keenam tahun 1417 H / 1997 M, penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyah, Amman, Yordania, hal. 18–20).
***
2. Persiapan Menghadapi Ramadhan
Di antara hal yang harus dipersiapkan seorang Muslim dalam menyambut bulan yang mulia ini adalah:
a. Menghitung Bulan Sya’ban
Salah satu bentuk persiapan menyambut Ramadhan adalah memperhatikan hitungan bulan Sya’ban. Dalam kalender Islam, satu bulan terdiri dari 29 atau 30 hari. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal). Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)
Dari hadits ini, jelas bahwa puasa Ramadhan tidak boleh dimulai kecuali setelah melihat hilal. Oleh karena itu, mengetahui hitungan bulan Sya’ban menjadi penting untuk memastikan kapan Ramadhan dimulai.
b. Melihat Hilal Ramadhan (Ru’yah)
Islam menetapkan bahwa permulaan bulan Ramadhan ditentukan dengan ru’yah (melihat hilal). Ini adalah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/289-290) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/27) menjelaskan bahwa metode ini adalah ketetapan dalam syariat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Kita sudah mengetahui secara pasti bahwa Islam menetapkan amal berdasarkan ru’yah hilal, baik dalam puasa, haji, masa iddah, atau hukum-hukum lain yang berkaitan dengan hilal. Adapun bersandar pada perhitungan astronomi (hisab), baik seseorang melihat hilal atau tidak, maka hal itu tidak diperbolehkan.”(Majmu’ Al-Fatawa, 25/132)
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah juga menyatakan:
“Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan awal Ramadhan.” (Ihkamul Ahkam dalam Al-I’lam bi Fawa’id Umdatul Ahkam, 5/179)
Pernyataan ini telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu. Adapun munculnya pendapat yang membolehkan hisab baru terjadi setelah tahun 300 Hijriyah. Sebagian ulama belakangan berpendapat bahwa jika langit tertutup mendung, seseorang yang ahli dalam ilmu hisab boleh menggunakannya untuk dirinya sendiri. Namun, pendapat ini tetap tidak berlaku secara umum bagi umat Islam. (Majmu’ Al-Fatawa, 25/133).
Dalil-Dalil Tentang Ru’yah Hilal
Banyak hadits yang menegaskan bahwa penentuan awal Ramadhan harus berdasarkan ru’yah hilal, di antaranya:
1. Hadits Ibnu Umar
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)
2. Hadits Abu Hurairah
Rasulullah ﷺ bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup mendung, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadits ‘Adi bin Hatim
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ
“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari, kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” (HR. Ath-Thahawi dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 17/171, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 901)
Persaksian Seorang Muslim yang Adil
Penentuan awal Ramadhan dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian seorang Muslim yang adil. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma:
تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Manusia sedang mencari hilal, lalu aku memberitahu Nabi bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
***
3. Amalan di Bulan Ramadhan
Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan Sya’ban, maka masuk dan datanglah bulan Ramadhan. Kaum Muslimin mulai melakukan berbagai amal shalih di malam dan siang Ramadhan. Di antara amalan yang dilakukan seorang Muslim adalah:
1. Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih)
Shalat tarawih disyariatkan pada malam-malam bulan Ramadhan, baik dilakukan secara berjamaah maupun sendiri. Selain itu, ibadah ini memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang Muslim untuk melaksanakannya.
1.1. Keutamaannya
Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah shalat. Amalan ini memiliki beberapa keutamaan bagi pelakunya, yaitu:
a. Mendapat pengampunan dari Allah
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Lalu Rasulullah ﷺ meninggal dunia dalam keadaan perintah tersebut (shalat Tarawih berjamaah) masih berlaku. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim.
b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada
Sebagaimana hadits dari ‘Amr bin Murrah yang berbunyi:
جَاءَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ ﷺ: مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Datang kepada Rasulullah ﷺ seorang laki-laki dari Bani Qudha’ah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menegakkan malam-malam Ramadhan, dan aku menunaikan zakat?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang meninggal dalam keadaan seperti ini, dia termasuk dalam (golongan) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya, serta selainnya, dengan sanad yang sahih).
1.2. Pensyariatan Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) dengan Berjamaah
Disyariatkan melaksanakan qiyam Ramadhan secara berjamaah. Bahkan, berjamaah lebih utama dibandingkan melakukannya sendirian, karena Rasulullah ﷺ telah melaksanakannya dan menjelaskan keutamaannya. Sebagaimana dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:
صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»، فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ.
“Kami berpuasa bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Beliau tidak melaksanakan qiyam (shalat tarawih) bersama kami sepanjang bulan itu, kecuali ketika tersisa tujuh hari. Saat itu, beliau berdiri (shalat tarawih) bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Pada malam keenam (tanggal 24), beliau tidak shalat bersama kami. Kemudian pada malam kelima (tanggal 25), beliau kembali shalat bersama kami hingga berlalu setengah malam. Aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau menambah shalat pada malam ini.’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya hingga selesai, maka dicatat baginya pahala qiyamul lail sepanjang malam.’ Pada malam keempat (tanggal 26), beliau tidak shalat bersama kami. Pada malam ketiga (tanggal 27), beliau mengumpulkan keluarga, istri-istri, serta orang-orang, lalu menegakkan shalat bersama kami hingga kami khawatir kehilangan kemenangan.’ Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Abu Dzar menjawab, ‘Sahur.’ Kemudian beliau tidak menegakkannya lagi setelah itu.” (HR. Ash-habus Sunan)
Namun, Rasulullah ﷺ tidak terus-menerus melaksanakannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin sehingga mereka tidak mampu mengerjakannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan dalam Shahihain:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبِعَةُ عَجِزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ.
“Bahwasanya Rasulullah ﷺ keluar pada suatu malam di pertengahan malam, lalu beliau shalat di masjid. Beberapa orang pun ikut shalat dengan beliau. Keesokan paginya, orang-orang membicarakan hal itu, maka semakin banyak yang berkumpul pada malam berikutnya. Rasulullah ﷺ kembali shalat, dan mereka ikut shalat bersamanya. Kemudian keesokan harinya, pembicaraan tentang itu semakin meluas, sehingga pada malam ketiga jumlah orang yang hadir semakin banyak. Rasulullah ﷺ keluar dan shalat bersama mereka. Namun, pada malam keempat, masjid tidak mampu menampung jamaahnya hingga beliau keluar untuk shalat Subuh. Setelah menyelesaikan shalat Subuh, beliau menghadap manusia, lalu bertasyahud dan bersabda, ‘Amma ba’du, sungguh aku mengetahui keberadaan kalian. Namun, aku khawatir jika shalat ini diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.’ Lalu Rasulullah ﷺ wafat dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sebab tidak dilaksanakannya qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) secara berjamaah ini hilang setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, karena dengan wafatnya beliau, agama ini telah sempurna. Oleh karena itu, amalan ini tetap disyariatkan meskipun tidak dikerjakan secara berjamaah oleh Rasulullah ﷺ karena kekhawatiran beliau. Kemudian, amalan ini dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhalifahannya.
Pensyariatan shalat tarawih berjamaah ini juga berlaku bagi wanita. Bahkan, diperbolehkan bagi mereka untuk memiliki imam khusus, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengangkat Ubay bin Ka’b sebagai imam bagi laki-laki dan Sulaiman bin Abu Hatsmah sebagai imam bagi wanita. Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang memerintahkan kaum Muslimin untuk shalat tarawih berjamaah dan mengangkat seorang imam bagi laki-laki serta Urfuzah ats-Tsaqafi sebagai imam bagi wanita. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi).
1.3. Jumlah Rakaatnya
Jumlah rakaat shalat Tarawih yang lebih rajih (kuat) adalah 11 rakaat, insyaallah. Namun, boleh juga kurang atau lebih dari itu, karena Rasulullah ﷺ tidak membatasi jumlah rakaatnya maupun panjang bacaannya secara khusus.
1.4. Waktunya
Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah shalat Isya hingga terbit fajar Subuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian satu shalat, yaitu Witir. Maka, kerjakanlah shalat itu di antara shalat Isya hingga shalat Fajar.” (HR. Ahmad dari Abu Bashrah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Qiyam Ramadhan hal. 26).
Shalat malam yang dilakukan di akhir malam lebih utama, bagi siapa saja yang mampu bangun pada waktu tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barang siapa khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di awal malam. Namun, barang siapa berharap dapat bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di akhir malam. Karena shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh malaikat), dan itulah yang lebih utama.” (HR. Muslim).
Namun, jika ada shalat Tarawih berjamaah di awal malam, maka lebih utama mengikuti shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian di akhir malam.
1.5. Rincian Rakaat Shalat Tarawih
Adapun shalat Tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ memiliki beberapa rincian sebagai berikut:
- 13 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir.
- 13 rakaat dengan perincian: 8 rakaat dengan salam pada setiap dua rakaat, lalu ditambah 5 rakaat witir yang dilakukan tanpa duduk dan salam, kecuali di rakaat kelima.
- 11 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir.
- 11 rakaat dengan perincian: shalat 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat kedelapan, lalu bertasyahud dan bershalawat, kemudian berdiri tanpa salam. Setelah itu, dilanjutkan dengan 1 rakaat witir dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk.
- 9 rakaat dengan perincian: shalat 6 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat keenam, lalu bertasyahud dan bershalawat tanpa salam. Kemudian, berdiri untuk shalat witir 1 rakaat dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk.
1.6. Qunut
Setelah selesai membaca surat dan sebelum rukuk, Rasulullah ﷺ kadang-kadang berqunut. Namun, boleh juga dilakukan setelah rukuk.
1.7. Bacaan Setelah Witir
Apabila telah selesai dari shalat witir, hendaklah membaca:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
Pada bacaan yang ketiga, dianjurkan untuk memanjangkan suara dan meninggikannya.
***
2. Puasa
Setelah melaksanakan shalat Tarawih di malam hari, seorang muslim bersiap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
2.1. Definisi Puasa
2.1.1. Definisi Secara Bahasa
Ash-Shiyām (الصِّيَامُ) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, sebagaimana firman Allah:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا
“Aku telah bernazar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa (menahan diri dari berbicara).” (QS. Maryam: 26)
2.1.2. Definisi Secara Istilah Syariat
Secara istilah syariat, puasa adalah “Menahan diri dengan niat ibadah dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.”
(Lihat Taisīr Al-Fiqh karya Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlân, cetakan kedua, 1417 H/1997 M, tanpa penerbit, hlm. 79)
2.2. Kewajiban Puasa di Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah atas kaum mukminin dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajibannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak kaum muslimin.
a. Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
b. Dalil dari As-Sunnah
1. Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَىٰ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ: رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا
“Seorang Arab pedalaman datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan kusut rambutnya, lalu ia berkata, ‘Beritahukan kepadaku, puasa apa yang diwajibkan atas diriku?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau ingin menambah (puasa sunnah).’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَىٰ خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Dalil dari Ijmak Kaum Muslimin
Kaum muslimin telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat.
***
2.3. Keutamaan Puasa
Puasa adalah salah satu ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah ﷺ, banyak disebutkan keutamaan puasa, di antaranya:
a. Puasa Termasuk Amalan yang Mendapat Ampunan dan Pahala Besar
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)
Allah ﷻ juga berfirman:
وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)
b. Puasa Adalah Perisai dari Syahwat dan Neraka
Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun, barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah benteng baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud)
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan memperlemahnya. Oleh karena itu, puasa menjadi perisai seorang muslim dari hawa nafsu dan syahwat yang dapat menyeretnya ke neraka. Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَٰلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri)
c. Puasa Mengantarkan ke Surga
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’” Maka beliau menjawab:
عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لَا مِثْلَ لَهُ
“Hendaklah engkau berpuasa, karena tidak ada amalan yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, sanadnya sahih)
d. Orang yang Berpuasa Mendapatkan Dua Kebahagiaan
Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ بَنِي آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan jangan pula bertengkar. Jika ada seseorang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini juga terdapat dua keutamaan lainnya:
1. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan.
2. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik.
e. Orang yang Berpuasa Memiliki Pintu Khusus di Surga.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, hanya orang-orang yang berpuasa yang masuk melalui pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang boleh memasukinya. Jika mereka telah masuk, pintu itu ditutup, sehingga tidak ada lagi yang dapat masuk melaluinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri)
(Diringkas dari Sifat Saum An-Nabi Hal 11-17).
***
1.4. Amalan-Amalan yang Berhubungan dengan Puasa
1. Niat
Ketika bulan Ramadhan telah tiba, setiap muslim wajib berniat untuk berpuasa pada malam harinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Baihaqi dari Hafshah binti Umar)
Niat tempatnya di hati, sementara melafalkannya termasuk dalam perbuatan bid’ah. Kewajiban berniat pada malam hari ini berlaku khusus untuk puasa wajib, seperti puasa Ramadhan dan puasa nazar.
2. Waktu Puasa
Waktu berpuasa dimulai dari terbit fajar subuh hingga terbenam matahari. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa terdapat dua jenis fajar:
a. Fajar Kazib (Fajar Palsu)
- Cahaya putih yang menjulang secara vertikal di langit seperti ekor serigala.
- Pada saat ini, masih diperbolehkan makan, minum, dan tidak boleh melaksanakan salat Subuh.
b. Fajar Shadiq (Fajar Sejati)
- Cahaya kemerahan yang menyebar secara horizontal di ufuk.
- Saat ini, makan dan minum harus dihentikan, dan salat Subuh sudah dapat dilakukan.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ:
الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ يَحِلُّ الصَّلاَة، وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَيَحِلُّ الصَّلاَةَ
“Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka masih boleh makan dan tidak boleh melaksanakan salat. Sedangkan yang kedua, maka makanan diharamkan dan salat diperbolehkan.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan sanad sahih)
Untuk mengenali perbedaannya, fajar pertama berbentuk cahaya putih yang menjulang ke atas, sedangkan fajar kedua berwarna kemerahan dan menyebar ke ufuk timur, menerangi gunung, lembah, dan bangunan.
Ketika fajar shadiq telah tampak, maka makan, minum, dan hubungan suami istri harus dihentikan.
3. Kesalahan dalam Menentukan Waktu Imsak
Di beberapa tempat, terdapat kebiasaan mengadakan waktu imsak sekitar 10–15 menit sebelum waktu fajar dengan anggapan sebagai langkah kehati-hatian. Namun, kebiasaan ini tidak ada tuntunannya dalam syariat dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:
“Termasuk bid’ah mungkar adalah mengadakan azan kedua sekitar sepertiga jam sebelum fajar di bulan Ramadhan, lalu mematikan lampu-lampu sebagai tanda untuk menghentikan makan dan minum, dengan persangkaan bahwa hal itu adalah bentuk kehati-hatian. Padahal, hal itu tidak diketahui kecuali dari segelintir orang saja. Hal ini justru menyebabkan mereka mengakhirkan berbuka puasa dan mempercepat sahur, yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Akibatnya, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak keburukan yang menimpa mereka.” (Fathul Bari, 4/199)
Oleh karena itu, yang benar adalah tetap makan dan minum hingga fajar shadiq benar-benar muncul.
4. Waktu Berbuka Puasa
Puasa berakhir saat matahari terbenam. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika malam telah datang dari arah sini, siang telah pergi dari arah sana, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tanda masuknya waktu berbuka adalah:
1. Matahari benar-benar telah tenggelam di ufuk barat dan tidak ada lagi bagian bulatannya yang tampak.
2. Mulainya kegelapan dari arah timur, yang dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa perlu alat bantu seperti teleskop.
***
3. Sahur
3.1. Hikmah Sahur
Setelah mewajibkan puasa dengan hukum dan waktu yang sama seperti yang berlaku bagi umat-umat sebelumnya, Allah mensyariatkan sahur bagi kaum Muslimin sebagai pembeda antara puasa mereka dan puasa umat terdahulu. Rasulullah ﷺ bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
3.2. Keutamaan Sahur
Di antara keutamaan sahur adalah sebagai berikut:
1. Sahur Mengandung Berkah
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ
“Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, dengan sanad yang sahih)
Berkahnya sahur dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:
• Menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ.
• Menguatkan fisik dalam menjalankan ibadah puasa.
• Menambah semangat dalam beribadah.
• Mengandung unsur menyelisihi kebiasaan Ahli Kitab.
2. Orang yang Bersahur Mendapat Salawat dari Allah dan Malaikat
Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
السَحُوْرُ أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنَ الْمَاءِ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
“Sahur adalah makanan yang penuh berkah, maka janganlah kalian tinggalkan, walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad)
3.3. Sunnah Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan untuk mengakhirkan sahur hingga mendekati waktu fajar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian beliau berdiri untuk melaksanakan salat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara azan dan sahur?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar 50 ayat (bacaan Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.4. Hukum Sahur
Sahur merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) berdasarkan dalil-dalil berikut:
a. Perintah Rasulullah ﷺ untuk Bersahur
Di antara perintah beliau ﷺ adalah sabda berikut:
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan anjuran kuat dari Rasulullah ﷺ untuk makan sahur, karena mengandung keberkahan bagi yang melaksanakannya.
b. Larangan Rasulullah ﷺ untuk Meninggalkan Sahur
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang telah dikutip sebelumnya, Rasulullah ﷺ melarang meninggalkan sahur.
Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari (3/139) menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) atas kesunnahan sahur.
***
4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa
Dalam puasa, terdapat beberapa perkara yang dapat merusaknya. Seorang yang berpuasa wajib menjauhi hal-hal berikut selama siang hari:
a. Makan dan minum dengan sengaja
Sebagaimana firman Allah:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makanlah serta minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186)
b. Muntah dengan sengaja
c. Haid dan nifas
d. Injeksi yang mengandung zat makanan (infus)
e. Bersetubuh
Selain perkara yang membatalkan puasa, ada pula hal-hal yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa, di antaranya:
1. Berkata Bohong
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)
2. Berbuat Sia-Sia dan Kejahatan
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ
“Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji. Jika seseorang mencacimu atau berbuat buruk kepadamu, katakanlah: ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim)
***
5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan
Terdapat beberapa perkara yang sering dianggap membatalkan puasa, padahal sebenarnya diperbolehkan, di antaranya:
a. Orang yang Junub hingga Waktu Fajar
Sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ وَيَصُوْمُ
“Sesungguhnya Nabi ﷺ mendapati fajar (waktu subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Bersiwak
c. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung saat Bersuci
d. Bersentuhan dan Berciuman bagi Orang yang Berpuasa
Hal ini diperbolehkan, namun dimakruhkan bagi orang yang masih berusia muda karena dikhawatirkan menjerumuskan kepada hal yang membatalkan puasa.
e. Injeksi yang Tidak Mengandung Zat Makanan
f. Berbekam
g. Mencicipi Makanan
Selama tidak sampai masuk ke tenggorokan, mencicipi makanan diperbolehkan.
h. Memakai Celak dan Tetes Mata
i. Menyiram Kepala dengan Air Dingin dan Mandi
***
6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa
Sesungguhnya Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu yang mengalami kesulitan atau tidak mampu berpuasa. Mereka adalah:
1. Musafir (Orang yang Bepergian)
Musafir diperkenankan untuk memilih antara tetap berpuasa atau berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Demikian pula Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang puasa bagi musafir, sebagaimana dalam hadis Hamzah bin Amru Al-Aslami:
أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?’ Hamzah adalah seorang yang banyak berpuasa. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Jika kamu mau, berpuasalah. Jika kamu mau, berbukalah.’” (Muttafaqun ’alaih)
2. Orang yang Sakit
Dibolehkan bagi orang sakit untuk berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Namun, dengan ketentuan bahwa sakitnya akan bertambah parah, membahayakan dirinya, atau memperlambat kesembuhannya jika tetap berpuasa.
(Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syaikh Salim dan Ali Hasan, hlm. 59)
3. Wanita yang Haid atau Nifas
Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa wanita yang sedang haid atau nifas dilarang berpuasa. Namun, mereka wajib mengqadha puasanya di hari lain setelah suci.
4. Orang Lanjut Usia yang Lemah
Orang yang sudah tua dan tidak lagi mampu berpuasa diperbolehkan berbuka. Sebagai gantinya, mereka wajib memberi makan satu orang miskin setiap hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas:
“Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 4505)
5. Wanita Hamil atau Menyusui
Wanita hamil atau menyusui juga diberikan keringanan untuk tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri mereka atau bayinya.
***
7. Berbuka Puasa
7.1. Waktu Berbuka
Waktu berbuka puasa adalah saat matahari terbenam. Hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang waktu puasa sebelumnya. Rasulullah ﷺ berbuka sebelum melaksanakan salat Magrib, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik.
7.2. Mempercepat Berbuka Puasa
Termasuk dalam sunnah puasa adalah menyegerakan berbuka. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Amr bin Maimun Al-Audi berkata:
“Para sahabat Muhammad ﷺ adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat makan sahur.”
(HR. Abdurrazzaq dalam Al-Musannaf, no. 7591, dengan sanad yang disahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/199)
Adapun manfaat dari menyegerakan berbuka puasa adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan Kebaikan
Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Menjalankan Sunnah Nabi ﷺ
Mempercepat berbuka merupakan bagian dari tuntunan Rasulullah ﷺ yang senantiasa beliau lakukan dan ajarkan kepada umatnya.
3. Menyelisihi Ahli Kitab
Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَهُ
“Agama ini akan senantiasa menang selama kaum Muslimin menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan)
Berbuka puasa dilakukan sebelum salat Magrib, karena demikianlah akhlak para nabi. Rasulullah ﷺ menganjurkan berbuka dengan kurma, dan jika tidak ada kurma, maka cukup dengan air. Hal ini menunjukkan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap umatnya. Setelah berbuka, beliau langsung melaksanakan salat Magrib.
7.3. Makanan untuk Berbuka
Tidak ada ketentuan khusus mengenai jenis makanan yang harus dikonsumsi saat berbuka puasa. Namun, Rasulullah ﷺ memiliki kebiasaan mendahulukan ruthab (kurma basah) ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Nabi ﷺ berbuka sebelum salat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada, beliau minum seteguk air.” (HR. Ahmad 3/163, Abu Dawud 2/306, dan At-Tirmidzi 3/70)
7.4. Doa Berbuka Puasa
Disyariatkan bagi orang yang berpuasa untuk membaca doa ketika berbuka, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash:
“Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, Al-Hakim 1/422, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib 2/148)
Adapun doa berbuka puasa yang ma’tsur dari Rasulullah ﷺ adalah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Nabi ﷺ apabila berbuka, beliau membaca:
‘ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.’”
(HR. Abu Dawud 2/306 dengan sanad hasan)
***
8. Adab Orang yang Berpuasa
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya:
1. Memperlambat sahur (telah dijelaskan sebelumnya).
2. Mempercepat berbuka puasa (telah dijelaskan sebelumnya).
3. Berdoa ketika berpuasa dan saat berbuka (telah dijelaskan sebelumnya).
4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa (telah dijelaskan sebelumnya).
5. Bersiwak.
6. Berderma dan tadarus Al-Qur’an.
7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir.
***
9. I’tikaf
9.1. Makna I’tikaf
I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang berarti berdiam diri pada sesuatu. Kata ini digunakan dalam konteks ibadah dengan makna tinggal dan menetap di masjid untuk beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang melakukan i’tikaf disebut mu’takif atau ‘aakif.
9.2. Hikmah I’tikaf
Ibnul Qayyim berkata:
“Ketika perbaikan dan keistiqamahan hati dalam berjalan menuju Allah bergantung pada konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap-Nya secara penuh, maka jika hati terpecah, ia tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadapkan diri kepada Allah. Padahal, kelebihan makan dan minum, terlalu banyak bergaul dengan manusia, banyak bicara, dan tidur yang berlebihan justru akan membuat hati berantakan, memporak-porandakannya, serta memutus, melemahkan, atau mengganggu perjalanan hati menuju Allah.”
“Karena itu, rahmat Allah kepada hamba-Nya menetapkan syariat puasa, yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum serta mengosongkan hati dari berbagai syahwat yang menghalangi perjalanan menuju-Nya. Allah mensyariatkan puasa sesuai dengan kemaslahatan yang bermanfaat bagi hamba, baik di dunia maupun di akhirat, tanpa mengganggu urusan duniawinya.”
“Kemudian, Allah juga mensyariatkan i’tikaf, yang tujuan dan intinya adalah agar hati seseorang benar-benar menghadap Allah, menyatukan fokusnya, berkhulwah dengan-Nya, serta menghilangkan kesibukan dengan makhluk sehingga hanya sibuk menghadap Allah semata.”
9.3. Pensyariatannya
I’tikaf disyariatkan dalam firman Allah:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam, tetapi janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid. Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Selain dalam Al-Qur’an, pensyariatan i’tikaf juga dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR. Al-Bukhari No. 1886)
I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, dengan atau tanpa didahului puasa. Namun, yang paling utama adalah i’tikaf di bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ dahulu beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di tahun tersebut hingga malam ke-21. Pada malam itu, beliau keluar dari i’tikafnya dan bersabda: ‘Barang siapa yang beri’tikaf bersamaku, hendaklah ia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir.’” (HR. Al-Bukhari No. 1887)
Selain itu, i’tikaf juga disyariatkan melalui perintah Nabi ﷺ kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu dalam hadis berikut:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً
“Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, dahulu pada masa jahiliyah aku pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Tunaikan nazarmu.’ Lalu Umar pun beri’tikaf satu malam.” (HR. Al-Bukhari No. 2042, Muslim No. 1656)
9.4. Syarat dan Tempatnya
I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid dan tidak boleh dilakukan di tempat selainnya. Seorang yang beri’tikaf juga tidak boleh keluar dari masjid kecuali karena keperluan mendesak atau darurat, seperti buang hajat, makan jika tidak ada yang mengantarkan makanan, atau keadaan darurat lainnya.
Dalilnya adalah firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
9.5. Hal-hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf
1. Boleh keluar dari masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepala dari masjid untuk dicuci atau disisir. Aisyah radhiyallahu ’anha berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
“Nabi ﷺ jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya, lalu saya sisir. Dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (keperluan).” (HR. Muslim)
2. Dibolehkan berwudu di dalam masjid.
3. Boleh membuat kemah kecil atau bilik dari kain di bagian belakang masjid sebagai tempat i’tikaf, sebagaimana Aisyah radhiyallahu ’anha membuat kemah kecil untuk Nabi ﷺ saat beliau beri’tikaf.
4. Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma:
“Dari Nabi ﷺ, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang Taubah.” (Hadis ini sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Zawaaid Sunannya).
5. Boleh mengantar istri yang mengunjungi ke masjid sampai ke pintu masjid, sebagaimana dalam hadis:
أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا
Dari Shafiyyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata bahwa ia datang mengunjungi Nabi ﷺ ketika beliau sedang beri’tikaf di sepuluh akhir Ramadhan. Lalu ia berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian ia bangkit untuk pulang. Rasulullah ﷺ pun bangkit bersamanya mengantarnya. Ketika sampai di pintu masjid, dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang dari kaum Anshar. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkata kepada mereka, ‘Perlahan, sesungguhnya ini adalah Shafiyyah binti Huyaiy.’ Mereka pun berkata, ‘Subhanallah, wahai Rasulullah!’ dan merasa sangat terkejut.” (HR. Bukhari)
6. Wanita diperbolehkan beri’tikaf di masjid selama aman dari fitnah, sebagaimana dalam hadis:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi ﷺ beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari No. 1886)
***
10. Malam Qadar (Lailatul Qadr)
10.1. Sebab Penamaannya
Para ulama berselisih pendapat tentang sebab penamaan Lailatul Qadr dalam dua pendapat:
1. Pendapat pertama: Dinamakan Lailatul Qadr karena keagungan dan kemuliaannya. Keistimewaan ini disebabkan karena pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan seluruhnya ke langit dunia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qadr.
2. Pendapat kedua: Dinamakan Lailatul Qadr karena pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk untuk tahun tersebut, kemudian disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman Allah:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. Ad-Dukhan: 4)
(Lihat Al-I’lam bi Fawa’id ’Umdatil Ahkam karya Ibnu Al-Mulaqqin, 5/391-392).
10.2. Keutamaannya
Cukuplah keutamaan Lailatul Qadr ditunjukkan dengan dua hal utama:
1. Malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3)
2. Malam ditetapkannya takdir tahunan.
Pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk selama satu tahun, lalu disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang mengutus para rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan: 3-6)
10.3. Waktunya
Para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadr terjadi setiap tahun hingga hari Kiamat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/397).
Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan kapan tepatnya malam tersebut terjadi, hingga mencapai lima belas pendapat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/398-404).
Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah bahwa Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
10.4. Tanda-tandanya
Rasulullah ﷺ memberikan beberapa tanda Lailatul Qadr agar umatnya dapat mengenali malam yang penuh kemuliaan ini. Di antara tanda-tandanya adalah:
1. Matahari Terbit Tidak Terik di Pagi Harinya
Pada pagi harinya, matahari terbit dalam keadaan redup, tidak menyilaukan hingga meninggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Razi bin Hubaisy, yang bertanya kepada Ubai bin Ka‘ab:
قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا
“Aku bertanya, ‘Apa dalilnya engkau menegaskan hal tersebut, wahai Abul Mundzir?’ Beliau menjawab, ‘Dengan tanda yang Rasulullah ﷺ kabarkan, yaitu matahari terbit pada pagi hari tersebut tanpa sinar yang terik.’” (HR. Muslim No. 1999)
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:
تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ
“Matahari di pagi harinya (setelah Lailatul Qadr) seperti bejana besar, tidak memiliki cahaya yang terik hingga meninggi.” (HR. Abu Dawud No. 1170)
2. Malamnya Cerah dan Tenang
Malam Lailatul Qadr dipenuhi ketenangan, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ، تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ
“Lailatul Qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin. Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan redup kemerahan.” (HR. Ath-Thayalisi No. 349, Ibnu Khuzaimah 3/331, dan Al-Bazzar dengan sanad yang hasan. Lihat: Sifat Shaum Nabi, hal. 90)
Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan tanpa tambahan kata سَمْحَةٌ dan صَبِيْحَتِهَا, serta diganti dengan يوْمِهَا. (Lihat: Shahih Ibnu Khuzaimah 3/331-332).
10.5. Hikmah Disembunyikannya Waktu Lailatul Qadr
Allah ﷻ merahasiakan waktu pasti terjadinya Lailatul Qadr agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dan memperbanyak ibadah di malam-malam terakhir bulan Ramadhan, dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini serupa dengan disembunyikannya waktu terjadinya kiamat dan kematian, agar manusia selalu berada dalam keadaan bersiap diri dengan amal kebaikan.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-I‘lam (5/407):
“Hikmah disembunyikannya waktu malam ini adalah agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.”
***
11. Zakat Fitrah
Zakat Fitrah merupakan zakat yang disyariatkan dalam Islam berupa satu sha‘ (sekitar 2,5–3 kg) dari makanan pokok yang dikeluarkan oleh seorang muslim di akhir Ramadhan. Tujuan utama zakat ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat berbuka setelah sebulan berpuasa serta sebagai penyempurna ibadah Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan shadaqatul fitr atau Zakat Fitrah. (Fatawa Ramadhan, 2/901).
11.1. Hukumnya
Zakat Fitrah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, kecil atau besar, budak ataupun orang merdeka.
Dalil-dalil yang mewajibkan Zakat Fitrah:
1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَمَرَ بِهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari kurma atau satu sha‘ dari gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar Zakat Fitrah ini ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Idulfitri).”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu, di zaman Nabi ﷺ, kami menunaikan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari makanan, satu sha‘ dari kurma, satu sha‘ dari gandum, atau satu sha‘ dari kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Penafsiran ayat dalam Surah Al-A‘la ayat 14
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al-A‘la: 14)
Sa‘id bin Al-Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz menafsirkan ayat ini sebagai kewajiban Zakat Fitrah.
4. Ijma‘ Ulama
Ibnu Qudamah rahimahullah menukil dari Ibnul Mundzir rahimahullah bahwa telah terjadi ijma‘ (kesepakatan) di kalangan para ulama mengenai kewajiban Zakat Fitrah.
“Para ahli ilmu telah sepakat bahwa Zakat Fitrah adalah wajib.” (Al-Mughni, 3/80)
11.2. Hikmah Zakat Fitrah
Zakat Fitrah memiliki banyak hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun sosial. Di antara hikmah tersebut adalah:
1. Sebagai zakat bagi tubuh
Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur atas nikmat kehidupan yang Allah berikan selama satu tahun.
2. Memberikan kemudahan bagi seluruh kaum muslimin
Zakat Fitrah tidak hanya bermanfaat bagi yang miskin, tetapi juga memberikan kemudahan bagi yang kaya, karena dapat menyucikan hartanya dan mendatangkan keberkahan.
3. Sebagai ungkapan rasa syukur
Menunaikan Zakat Fitrah merupakan wujud syukur atas nikmat Allah, terutama setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan.
4. Menyempurnakan kebahagiaan di hari raya
Dengan adanya Zakat Fitrah, kebahagiaan hari Idulfitri dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam, termasuk kaum fakir miskin, sehingga tidak ada yang merasa kekurangan pada hari kemenangan tersebut.
5. Sebagai makanan bagi fakir miskin dan penyucian bagi orang yang berpuasa
Zakat Fitrah membantu meringankan beban orang-orang miskin serta menyucikan orang yang berpuasa dari kekurangan atau dosa kecil yang mungkin dilakukan selama Ramadhan.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/126), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/50), dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (3/333)).
11.3. Jenis yang Boleh Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah dan Penerimanya
1. Jenis yang Boleh Dikeluarkan
Zakat Fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk setempat, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dan disepakati oleh para ulama berdasarkan hadis-hadis yang ada.
Sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Ramadhan (2/914), jenis makanan yang boleh dikeluarkan antara lain:
• Kurma
• Gandum
• Beras
• Sagu
• Jagung
• Makanan pokok lain yang biasa dikonsumsi oleh penduduk negeri tersebut
Para ulama melarang mengganti Zakat Fitrah dengan uang, daging, atau barang lain yang bukan makanan pokok. (Fatawa Ramadhan 2/916-927).
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Zakat Fitrah harus berupa makanan, karena zakat ini bertujuan untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin pada hari raya. Allah berfirman:
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ
“Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al-Ma’idah: 89)
Nabi ﷺ juga telah mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha’ dari kurma atau gandum, karena itulah makanan pokok penduduk Madinah. Jika makanan pokok mereka berbeda, maka Nabi ﷺ tidak membebani mereka untuk mengeluarkan sesuatu yang bukan makanan pokok mereka.
Zakat Fitrah memiliki kesamaan dengan kafarat (denda) yang juga berhubungan dengan badan, sehingga wajib dikeluarkan dalam bentuk makanan, bukan dalam bentuk uang seperti zakat harta.
2. Penerima Zakat Fitrah
Penerima Zakat Fitrah adalah fakir dan miskin saja, sebagaimana dalil dari sabda Rasulullah ﷺ:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
11.4. Ukuran Zakat Fitrah
Ukuran Zakat Fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis sebelumnya. Satu sha’ ini memiliki takaran yang berbeda menurut perhitungan para ulama:
• Syaikh Ibnu Baz: ± 3 kg beras (Fatawa Ramadhan 2/915, 2/926).
• Sebagian ulama: 2,275 kg.
• Syaikh Ibnu Utsaimin: 2,45 kg.
• Di Indonesia: Umumnya digunakan 2,5 kg.
Mengambil takaran yang lebih besar lebih baik, agar lebih meyakinkan dalam menunaikan kewajiban ini dan memberi manfaat lebih bagi fakir miskin.
11.5. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Waktu terbaik untuk mengeluarkan Zakat Fitrah adalah sebelum shalat Idulfitri, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas:
فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ
“Barang siapa yang menunaikannya sebelum manusia keluar untuk shalat, maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud).
• Waktu utama: Sebelum shalat Idulfitri.
• Boleh dikeluarkan lebih awal: 1-2 hari sebelum Idulfitri, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar.
• Tidak boleh setelah shalat Id: Jika diberikan setelah shalat, maka hanya dianggap sebagai sedekah biasa, bukan sebagai Zakat Fitrah.
Namun, jika ada udzur seperti lupa atau keterlambatan yang tidak disengaja, Zakat Fitrah tetap harus dikeluarkan walaupun setelah shalat Idulfitri. (Fatawa Ramadhan 2/931-935).
Hukum mengeluarkan Zakat Fitrah di awal Ramadhan
Menurut pendapat yang lebih kuat, Zakat Fitrah tidak boleh dikeluarkan di awal bulan Ramadhan. Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Fatawa Ramadhan 2/935).
Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai Zakat Fitrah. Semoga bermanfaat bagi kita semua dalam menunaikan kewajiban ini dengan benar sesuai tuntunan syariat.
Ma’had Ibnu Abbas, Beku, Kliwonan, Masaran
14 Sya’ban 1446 H
Penulis: Kholid bin Syamhudi
🔍 Hukum Shalat Berjamaah Di Masjid Bagi Laki Laki, Budak Zaman Sekarang, Arti Sighat, Kisah Segitiga Bermuda Dalam Al Quran, Sedekap