Hukum Jual Beli Emas dan Tukar Valas
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz
Sebelumnya saya berprofesi sebagai seorang trader di salah satu perusahaan pialang berjangka yang bergerak di bidang transaksi mata uang dan emas secara online. Selama saya bekerja di perusahaan tersebut, saya masih ragu apakah bisnis di perusahaan yang saya jalankan ini halal atau haram, tapi sekarang saya memutuskan untuk tidak di bisnis ini lagi.
Saya berusaha untuk mencari bisnis yang halal dan berkah, walaupun sebenarnya keahlian saya memang di bidang ini, karena saya sudah hampir 10 tahun berkecimpung di bidang ini.
Mohon pencerahan dari Ustadz, apakah yang saya lakukan ini benar atau salah?
Dari: Yudi
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Permasalahan ini telah dikupas di majalah Pengusaha Muslim edisi 28. Berikut Salah satu artikel itu:
Tukar-menukar emas dengan emas, emas dengan uang, atau uang dengan uang yang sejenis atau berlainan jenis dinamakan oleh para ulama dengan sharf. Yang disyaratkan harus tunai, serta harus sama nominalnya jika ditukar sejenis. Dan bila berlainan jenis hanya disyaratkan tunai saja. Bila salah satu persyaratan ini tidak terpenuhi, maka akad ini dikategorikan riba bai’.
Definisi Riba Ba’I Dalam Komoditi Emas/Mata Uang
Riba ba’i yaitu: riba yang objeknya adalah akad jual-beli.
Riba ini terbagi 2:
Pertama, Riba fadhl yaitu menukar (emas, perak, dan mata uang) dengan yang sejenis dan ukuran berbeda.
Misalnya: menukar 10 gr emas 22 karat dengan 11 gr emas 20 karat.
Kedua, Riba nasi’ah: menukar salah satu harta riba dengan harta riba lainnya yang sejenis atau berlainan jenis akan tetapi ‘illat-nya sama (sama-sama alat tukar) dengan cara tidak tunai.
Misalnya: menukar 10 gr emas batangan dengan 10 gr kalung emas tidak tunai, termasuk hal ini adalah beli emas secara kredit.
Dalil Tentang Riba Ba’i
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, dan sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, haruslah sama ukuran dan takarannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukurannya juga boleh berbeda dengan syarat tunai.” (HR. Muslim).
Lebih dari itu, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa serah-terima komoditi riba disyaratkan tunai dan disyaratkan sama ukurannya bila ditukar dengan komoditi yang sejenis, dan bila berlainan jenis dan masih satu illat disyaratkan tunai saja berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Ijma’ ini dinukil oleh An Nawawi (al-Majmu’, jilid X, hal 40).
Ibnu Munzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa dua orang yang saling menukar uang bila berpisah sebelum melakukan serah-terima uangnya maka transaksinya tidak sah.” (al-Ijma’, hal 92).
Kaidah Riba Ba’i Emas dan Perak
Dalam tukar-menukar emas dan perak ada 2 kemungkinan yang terjadi:
1. Menukar harta riba dengan harta riba yang sejenis, seperti: emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, termasuk rupiah ditukar dengan rupiah.
Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan 2 syarat:
a. Ukuran keduanya harus sama, baik berat –jika satuan barang berdasarkan timbangan– ataupun volume –jika satuan barangnya berupa liter-.
b. Serah terima kedua barang harus tunai di majelis akad. Tidak boleh menukar emas X 10 gr dengan emas Y 10 gr, sementara penyerahan salah satunya tertunda.
Jika syarat pertama tidak terpenuhi, akad ini dinamakan riba fadhl, dan jika syarat kedua tidak terpenuhi, akad ini dinamakan riba nasi’ah dan jika kedua syarat tidak terpenuhi akad ini dinamakan riba fadhl-nasi’ah.
2. Menukar harta riba dengan harta riba yang tidak sejenis tapi satu illat, seperti menukar emas dengan perak. Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan satu syarat saja, yaitu serah-terima kedua barang harus tunai dan tidak disyaratkan ukurannya sama.
Karena itu, boleh menukar 1 gr emas dengan 20 gr perak dengan syarat harus tunai, dimana barang diserah-terimakan di majelis akad.
Sekali lagi, tidak boleh ada yang tertunda. Tidak boleh menukar 1 gr emas diterima sekarang dan 20 gr perak yang diserahkan besok atau pekan depan. Termasuk dalam hal ini adalah jual beli emas tidak tunai atau secara kredit. Akad ini disebut riba nasi’ah.
Apakah Uang Kartal Dapat Disamakan dengan Emas dan Perak?
Emas dan perak yang merupakan mata uang utama di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat disamakan dengan mata uang sekarang. Keterangan ini merupakan hasil keputusan para ulama se-dunia yang tergabung dalam Rabithah Alam Islami (Muslim World League) dalam muktamar ke V di Mekkah pada tahun 1982, dinyatakan, “Berdasarkan penelitian yang diajukan kepada Majelis Lembaga Fikih Islam tentang uang kartal (real money) serta hukumnya menurut syariat, setelah ditelaah, dikaji, dan didiskusikan oleh para anggota majlis, maka diputuskan sebagai berikut:
Pertama: berdasarkan bahwa asal uang adalah emas dan perak, dan berdasarkan illat berlakunya riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah (sebagai alat tukar) menurut pendapat ulama yang terkuat. Dan berdasarkan pendapat ulama bahwa mutlaq tsamaniyah tidak terbatas pada emas dan perak saja, sekalipun statusnya adalah logam mulia yang menjadi patokan.
Dan berdasarkan bahwa uang kartal pada masa sekarang dianggap sebagai alat tukar, menggantikan emas dan perak, dan sebagai alat ukur harga, karena tidak ada lagi orang yang menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar. Dan uang kartal telah dipercaya orang untuk menginvestasikan, dan menyimpan hartanya, serta digunakan sebagai alat pembayar kewajiban, sekalipun nilai uang kartal bukan pada zat fisiknya, akan tetapi nilainya berasal dari kepercayaan pengguna untuk dipindahtangankan, dari hal itulah sifat tsamaniyah (nilai) dihasilkan. Dan karena pendapat yang terkuat tentang illat riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah dan hal itu terdapat pada uang kartal.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka majlis memutuskan bahwa uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri. Hukum uang kartal sama dengan uang emas dan perak, maka wajib mengeluarkan zakat dari uang kartal. Riba fadhl dan nasi’ah juga berlaku pada uang kartal, layaknya emas dan perak, maka hukum-hukum yang berkenaan dengan emas dan perak juga berlaku pada uang kartal.
Kedua: uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri, sama seperti uang emas dan perak. Uang kartal terdiri dari berbagai jenis, sesuai dengan jenis negara yang mengeluarkannya. Maka mata uang Arab Saudi satu jenis, mata uang Amerika jenis yang lain, dan seterusnya setiap mata uang sebuah negara merupakan jenis tersendiri.
Dengan demikian, dapat terjadi riba fadhl dan nasi’ah pada setiap mata uang sebagaimana terjadi riba fadhl dan nasi’ah pada uang emas dan perak.
Konsekuensi dari keputusan ini adalah sebagai berikut:
a. Tidak boleh menukar satu mata uang dengan mata uang negara yang lain, atau dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai.
Misalnya:
Menukar Riyal Arab Saudi dengan mata uang lain dengan cara tidak tunai (serah-terima kedua mata uang tidak di tempat akad berlangsung), tidak dibolehkan.
b. Tidak boleh menukar uang menjadi pecahan dalam satu mata uang dengan nominal yang berbeda, sekalipun dilakukan tunai.
Misalnya:
Satu lembar nominal S.R. 10.00 ditukar dengan 11 lembar nominal S.R. 1.00 tidak boleh.
c. Boleh menukar mata uang yang berlainan jenis berbeda nominalnya dengan syarat berlangsung tunai.
Misalnya:
Menukar 1 Dollar Amerika dengan 3 Riyal Saudi dengan cara tunai dibolehkan.
Ketiga: wajib mengeluarkan zakat uang kartal bila nominalnya senilai salah satu nishab zakat emas atau perak, atau menggenapkan nishab bersama harta yang lain seperti harta perniagaan.
Keempat: boleh menjadikan uang kartal sebagai modal pada akad jual-beli salam dan sebagai modal dalam berserikat. Wallahu a’lam.
Demikian juga keputusan Muktamar ke III para ulama Islam se-dunia di bawah OKI yang diselenggarakan di Amman, Yordania pada tahun 1986.
Dengan demikian, maka 1 lembar uang Rp 100.000,00 harus ditukar dengan nominal uang rupiah pecahan yang sama (dengan 10 lembar uang Rp10.000,00) dan harus tunai. Bila tidak tunai maka terjadilah riba nasi’ah.
Dari hasil keputusan muktamar di atas, maka 100 Dollar Amerika boleh ditukar dengan, misalnya, Rp 900.000,00 dengan syarat harus tunai.
Begitu juga jual-beli emas. Tidak boleh membeli emas dengan cara kredit. Karena antara emas dan uang kartal illat-nya sama yaitu: tsamaniyah, hanya jenisnya yang berbeda. Maka disyaratkan antara barang emas dan uang harus diserahkan-terimakan tunai di majelis akad berlangsung (Dr. Sulaiman At Turki, Ba’i taqsith wa Ahkamuhu, hal 141).
Juga termasuk riba ba’i membeli emas dengan cara memberikan uang muka/DP (down payment) kemudian melunasi sisanya pada waktu yang ditentukan dan emas diterima.
Kasus tentang jual beli emas dengan membayar DP saja pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, nomor fatwa: 3211, berbunyi,
Pertanyaan: Seorang pelanggan datang ingin membeli emas ke tokoku, ia hanya membawa uang tunai cukup untuk bayar DP saja. Ia berkata, “Saya beli emas yang ini, saya hanya bawa DP saja, mohon emasnya disisihkan dan ini uangnya! Nanti saya datang untuk melunasinya”. Beberapa waktu kemudian ia datang melunasi dan menerima emas tersebut. Apa hukum jual-beli ini?
Jawab: Jual-beli ini tidak dibolehkan, karena serah-terima barang tidak tunai”. (Fatawa Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 476.)
Termasuk bentuk riba ba’i membeli emas via internet. Di mana pembeli melakukan transaksi beli emas melalui website dari salah satu pedagang emas (dinar) dan membayar tunai harganya dengan fasilitas kartu kredit atau internet banking. Setelah transaksi jual beli dilakukan, pedagang mengirimkan emas yang dipesan ke pembeli, yang tentunya akan diterima pembeli setelah beberapa waktu transaksi dilakukan. Ini termasuk riba ba’i karena illat emas dan uang kartal adalah sama. Namun, serah terima barang dan uang tidak tunai. Uang sudah diterima penjual, sementara pembeli belum emas tersebut.
Juga termasuk riba ba’i yaitu jual-beli emas melalui telepon, karena serah-terima komoditi riba yang sama illat-nya tidak tunai.
Hal ini pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa No. 3211, yang berbunyi,
Soal: Terkadang pemilik toko emas membeli emas dalam jumlah besar dari salah satu agen emas di luar kota melalui telepon, dan jenis emas yang dipesan jelas. Setelah terjadi kesepakatan harga, kemudian pembeli mengirim uang kepada penjual melalui transfer rekening bank, apakah transaksi ini dibolehkan, atau apa yang harus dilakukan?
Jawab: Transaksi ini hukumnya tidak boleh, karena serah-terima barang emas dan uang tidak tunai, padahal keduanya adalah komoditi riba. Transaksi ini termasuk riba nasi’ah, hukumnya haram. Solusinya, pada saat uang diterima, akad jual-beli diulang kembali agar akad berlangsung tunai. (Fatawa Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 475).
Keterangan di atas adalah artikel yang ditulis oleh Dr. Erwandi Tarmidzi dan diterbitkan oleh majalah Pengusaha Muslim edisi 28. Pada edisi ini, majalah Pengusaha Muslim secara khusus mengupas tentang konsep mata uang, Dinar – Dirham dan bisnis emas. Bagi anda yang berminat, bisa mendapatkan versi cetak di: majalah.pengusahamuslim.com
atau versi ebook di: shop.pengusahamuslim.com
Allahu a’lam
🔍 Arti Sami'na Wa Atho'na, Insya Allah Png, Waktu Sholat Dhuha Jam, Berapa Persen Keuntungan Jual Pakaian, Darah Istihadoh, Kuping Kanan Berdengung
Leave a Reply