Pertanyaan:
Ustadz saya ingin bertanya tentang hadits keutamaan mewakafkan mushaf Al-Qur’an. Apakah haditsnya shahih?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no.242),
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ عَطِيَّةَ قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مَرْزُوقُ بْنُ أَبِي الْهُذَيْلِ قَالَ: حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرُّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ، يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ»
“Muhammad bin Yahya menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Wahb bin Athiyyah menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: Al-Walid bin Muslim menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: Marzuq bin Abil Hudzail menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: Az-Zuhri menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: Abu Abdillah Al-Agharr menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
Yang bisa menambahkan amal dan kebaikan seseorang setelah matinya adalah: ilmu yang bermanfaat yang ia ajarkan dan ia sebarkan, anak shalih yang hidup sepeninggalnya, mushaf Al-Qur’an yang ia wariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah singgah untuk ibnu sabil yang ia bangun, atau saluran air yang ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan hidup. Itu semua jadi tambahan baginya”
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (no. 2490), dengan jalan yang sama, namun tanpa menyebutkan lafadz:
وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ
“Mushaf yang diwariskan”
Keterangan para perawi dari jalan hadits ini adalah sebagai berikut:
- Muhammad bin Yahya Az-Zuhli. Seorang imam hafizh masyhur. Tidak diragukan tsiqah-nya.
- Muhammad bin Wahb bin Athiyyah As-Sulami. Ibnu Hajar mengatakan: “Ia shaduq”. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan: “Shalihul hadits”. Ad-Daruquthni mengatakan: “Ia tsiqah”. Kesimpulannya, ia perawi tsiqah.
- Al-Walid bin Muslim Al-Qurasyi. Ibnu Hajar mengatakan: “Ia seorang yang tsiqah, akan tetapi banyak melakukan tadlis taswiyyah”. Adz-Dzahabi mengatakan: “Ia terkadang melakukan tadlis dari para pendusta”. Duhaim Ad-Dimasyqi mengatakan: “haditsnya shahih jika dari Az-Zuhri”.
- Marzuq bin Abil Hudzail Ad-Dimasyqi. Ibnu Hajar mengatakan: “layyinul hadits”. Al-Bukhari mengatakan: “Dikenal meriwayatkan hadits munkar”. Ibnu Khuzaimah mengatakan: “ia tsiqah”. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan: “Shalihul hadits”. An-Nasa’i mengatakan: “ia tsiqah”. Kesimpulannya, ia perawi yang shaduq, hasan haditsnya.
- Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, imam hafizh masyhur. Tidak diragukan tsiqah-nya.
- Abu Abdillah Al-Agharr, nama aslinya Salman Al-Agharr Al-Asbahani. Ibnu Hajar mengatakan: “ia tsiqah”. Al-Waqidi mengatakan: “Ia tsiqah, sedikit haditsnya”. Az-Zuhli juga mentsiqahkannya.
Dari keterangan di atas, kita dapati bahwasanya hadits ini hasan. Al-Walid bin Muslim Al-Qurasyi walaupun terkenal sebagai mudallis namun dalam riwayat ini beliau menegaskan sima’ dari Marzuq dan ini riwayat dari Az-Zuhri. Maka haditsnya Al-Walid bin Muslim shahih jika dari Az-Zuhri, sebagaimana dikatakan oleh Duhaim.
Riwayat ini dihasankan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib Wat Tarhib (1/58), Ibnu Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir (7/102 ), Al-‘Ajluni dalam Kasyful Khafa’ (2/409), Ad-Dimyathi dalam Al-Muttajir Ar-Rabih (no. 23), Ar-Rubba’i dalam Fathul Ghaffar (2182/4), Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat Tarhib (1/17).
Terdapat jalan lain dalam riwayat Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 7289), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya (no. 44), dengan jalan berikut,
حَدَّثنا عَبد الرحمن بن هانىء، حَدَّثنا مُحَمد بن عُبَيد الله العرزمي، عَن قَتادة، عَن أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُول اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيه وَسَلَّم: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ، وهُو فِي قَبْرِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا، أَوْ كَرَى نَهْرًا، أَوْ حَفَرَ بِئْرًا، أَوْ غَرَسَ نَخْلا، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا، أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.
Umar bin Khathab menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: Abdurrahman bin Hani’ menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Ubaidillah Al-‘Arzami menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: dari Qatadah, dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Ada tujuh orang yang pahalanya tetap mengalir baginya setelah ia mati dan sudah berada di dalam kubur: (1) orang yang mengajarkan ilmu, (2) yang mengalirkan saluran air, (3) yang menggalikan sumur, (4) yang menanam kurma, (5) yang membangun masjid, (6) yang mewariskan mushaf Al-Qur’an, (7) yang meninggalkan seorang anak shalih yang senantiasa memohonkan ampun baginya”.
Keterangan para perawi dari jalan hadits ini adalah sebagai berikut:
- Abdurrahman bin Hani’ An-Nakhai. Imam Ahmad mengatakan: “laysa bi syai’”. Yahya bin Ma’in mengatakan: “kadzab”. Ibnu Hajar mengatakan: “ia shaduq namun melakukan beberapa kesalahan. Ibnu Ma’in telah berlebihan dengan menyebutkan kadzab”. Ahmad bin Shalih Al-Jili mengatakan: “Ia tsiqah”. Adz-Dzahabi mengatakan: “Ia diperselisihkan status tsiqah-nya”. Al-Bukhari mengatakan: “Ia diperselisihkan, namun asalnya ia perawi yang shaduq”. Kesimpulannya, ia perawi yang shaduq.
- Muhammad bin Ubaidillah Al-‘Arzami. Ibnu Ma’in mengatakan: “Dha’iful hadits”. Ibnu Qathan dan Abdurrahman bin Mahdi mengatakan: “para ulama meninggalkan haditsnya”. Ibnu Hajar mengatakan: “matrukul hadits, dhaif jiddan”. Kesimpulannya, ia perawi yang matruk.
- Qatadah bin Di’amah As-Sadusi. Seorang tabi’in yang tsiqah dan masyhur. Namun dikenal sebagai mudallis. Namun Abu Hatim Ar-Razi mengatakan: “Murid Anas bin Malik yang paling tsabat adalah Az-Zuhri kemudian Qatadah”. Dan dalam riwayat ini Qatadah meriwayatkan dari Anas bin Malik.
Riwayat ini dha’if jiddan karena terdapat Muhammad bin Ubaidillah Al-‘Arzami. Namun riwayat yang sebelumnya dalam Sunan Ibnu Majah sudah mencukupi karena derajatnya hasan.
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI:
BANK SYARIAH INDONESIA
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK (Kode BSI: 451)
🔍 Allahumma Ikfinihim Bimaa Syi'ta, Jidat Hitam Rumaysho, Kenapa Ada Sholat Jumat, Apakah Kredit Mobil Termasuk Riba, Tentang Rezeki, Hukum Qaza Dalam Islam