FIKIH

Hukum Jual Beli Kotoran Hewan

السؤال

يتم استخدام روث البهائم خاصة الحمير في صناعة الطوب الأحمر المستخدم في البناء، وللحصول عليها يذهب بعض الناس إلي حظائر البهائم لجمعها، ثم بيعها لمن يحتاجها، فهل يجوز ذلك؟ أم أنه يحرم بيعها؛ لنجاسة الحمير؟

Pertanyaan:

Kotoran hewan, khususnya keledai, digunakan untuk pembuatan batu bata merah yang digunakan dalam pembangunan. Untuk mendapatkannya, sebagian orang pergi ke kandang hewan ternak untuk mengumpulkannya kemudian menjualnya kepada siapa saja yang membutuhkan. Apakah hal ini diperbolehkan atau terlarang menjualnya? Karena najisnya kotoran keledai?

الجواب

أولا:

حكم بيع روث الحيوانات غير مأكولة اللحم

لا يجوز بيع السرجين أو روث الحيوانات غير مأكولة اللحم كالحمر، في قول جمهور الفقهاء، خلافا لأبي حنيفة رحمه الله.

قال ابن قدامة رحمه الله: “ولا يجوز بيع السرجين النجس. وبهذا قال مالك، والشافعي.

Jawaban:

Alhamdulillah. Pertama, tentang hukum menjual kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan. Tidak boleh menjual feses atau kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, seperti keledai. Ini menurut mayoritas ahli fikih. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah —Semoga Allah Meridainya—

Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa menjual kotoran najis tidak boleh. Inilah yang dikatakan Malik dan Syafii.

وقال أبو حنيفة: يجوز؛ لأن أهل الأمصار يتبايعونه لزروعهم من غير نكير، فكان إجماعا.

ولنا، أنه مجمع على نجاسته؛ فلم يجز بيعه، كالميتة. وما ذكروه فليس بإجماع، فإن الإجماع اتفاق أهل العلم، ولم يوجد، ولأنه رجيع نجس، فلم يجز بيعه، كرجيع الآدمي” انتهى من المغني (4/192).

Abu Hanifah berkata bahwa hukumnya boleh, karena para penduduk di berbagai negeri sudah saling memperjualbelikannya untuk kebutuhan pertanian mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka ini adalah konsensus. Adapun menurut kami, kotoran ini disepakati kenajisannya, sehingga tidak boleh menjualnya, hukumnya seperti menjual bangkai. Adapun yang mereka klaim itu bukanlah konsensus, karena konsensus itu adalah kesepakatan para ulama, dan hal itu tidak ada. Selain itu, benda itu termasuk limbah najis, maka tidak boleh dijual, seperti halnya kotoran manusia. Selesai kutipan dari al-Mughni (4/192).

وأما روث ما يؤكل لحمه: فهو طاهر، يجوز الانتفاع به في التسميد وغيره، ويجوز أيضا بيعه وشراؤه.

وينظر ما سبق في جواب السؤال رقم:(111786)، ورقم:(222524). 

وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله: “وأما السرجين النجس، يعني ما تدفن به الأرض عند زرعها، ويسمى عند الناس السماد: فالنجس لا يجوز بيعه، مثل سرجين الحمر، وسرجين الآدمي، عذرة الآدمي.

Adapun kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, maka kotorannya suci, sehingga boleh digunakan untuk pemupukan dan keperluan lainnya. Demikian pula diperbolehkan untuk diperjualbelikan. Lihat penjelasan sebelumnya dalam jawaban atas pertanyaan nomor (111786) dan (222524). 

Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa kotoran yang najis, yakni yang dimasukkan ke dalam tanah saat menanam—yang oleh orang-orang disebut pupuk—maka yang najis tidak boleh dijual, seperti kotoran keledai dan feses manusia. 

مع أن القول الراجح أنه يجوز يعني أن يسمد بها، لكن لا يجوز بيعها، لأنها نجسة العين، وأما السرجين المتنجس فيجوز بيعه، لأن تطهيره ممكن، فهو كالثوب المتنجس، السرجين المتنجس مثل سماد بال عليه رجل، أو بال عليه حمار وأراد إنسان أن يبيعه، نقول: لا بأس، بعه، لأنه يمكن تطهيره، فهو كالثوب المتجنس” انتهى من “التعليق على الكافي” (4/142).

Walaupun pendapat yang lebih tepat adalah boleh dijadikan pupuk, tapi tidak boleh dijual, karena memang zatnya najis. Adapun kotoran mutanajis, maka boleh dijual, karena masih bisa disucikan. Hukumnya seperti pakaian yang najis. Jadi kotoran mutanajis, seperti misalnya pupuk yang terkena kencing orang atau kencing keledai, lalu ada seseorang yang ingin menjualnya, maka kami katakan, “Tidak masalah, jual saja, karena masih bisa disucikan, jadi hukumnya seperti pakaian yang terkena najis.” Selesai kutipan dari at-Taʿlīq ʿalā al-Kāfī (4/142).

وأما الحنفية فأجاوز بيعه.

قال ابن عابدين: ” (قوله جاز) أي بيعه. ط (قوله كسرقين وبعر) في القاموس: السِّرجين والسرقين بكسرهما، مُعرَّبا سَركين بالفتح، وفسره في المصباح بالزبل، قال ط: والمراد أنه يجوز بيعهما ولو خالصين اهـ. وفي البحر عن السراج: ويجوز بيع السرقين والبعر والانتفاع به والوقود به” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (5/85).

Adapun mazhab Hanafi, mereka mengatakan boleh menjualnya (kotoran najis). Ibnu Abidin berkata bahwa perkataannya, “Boleh,” artinya boleh menjualnya. Perkataannya “Seperti Sirqīn dan Baʿr (kotoran),” disebutkan dalam al-Qāmūs bahwa kata Sirjīn dan Sirqīn, dengan kasrah adalah kata diserap ke dalam bahasa Arab dari kata Sarkīn, dengan fathah. Dalam kitab al-Miṣbāẖ diartikan feses. Dia mengatakan bahwa maksudnya adalah boleh menjualnya walaupun murni najis. Selesai kutipan. Dalam kitab al-Baẖr dari as-Sirāj disebutkan bahwa Sirjīn dan kotoran boleh dimanfaatkan dan digunakan untuk perapian. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (5/85).

ومذهب الأحناف: قال به جمع من الحنابلة وغيرهم أيضا، وهو رواية عن الإمام أحمد.

قال ابن مفلح – في كلامه عند كلامه طهارة الجلد النجس بدباغه -: ” ويجوز بيعه، وعنه لا “وم” كما لو لم يطهر “و” أو باع قبل الدبغ “و” نقله الجماعة، وأطلق فيه أبو الخطاب أنه يجوز بيعه مع نجاسته، كثوب نجس، فيتوجه منه بيع نجاسة يجوز الانتفاع بها، ولا فرق ولا إجماع كما قيل قال ابن القاسم المالكي1: لا بأس ببيع الزبل، قال اللخمي2: هذا من قوله يدل على بيع العذرة. و3قال ابن الماجشون: لا بأس ببيع العذرة، لأنه من منافع الناس. ” انتهى، من “الفروع” (1/112-113).

Dalam mazhab Hanafi, inilah yang menjadi pendapat ulama Hanafi dan selain mereka, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ibnu Muflih dalam pembahasannya tentang sucinya kulit yang najis dengan disamak berkata, “Boleh dijual. Ada juga riwayat darinya tentang ketidakbolehan dijual seperti saat belum disucikan atau sebelum disamak.” Ini dinukil oleh sejumlah ulama. Abul Khattab mengatakan bahwa boleh dijual secara mutlak walaupun najis, seperti pakaian yang najis. Maksudnya adalah menjual barang najis yang bisa dimanfaatkan. Tidak ada bedanya dan tidak ada konsensus dalam hal ini katanya. Ibnul Qasim al-Maliki berkata, “Tidak mengapa menjual kotoran.” Al-Lakhami berkata, “Perkataannya ini menunjukkan bolehnya menjual kotoran.” Ibnul Majisyun berkata, “Tidak mengapa menjual kotoran, karena itu termasuk perkara yang bermanfaat bagi manusia.” Selesai kutipan dari al-Furūʿ (1/112-113).

وقال أيضا في “شروط البيع” : ” أن يكون مباح النفع والاقتناء بلا حاجة …

لا إن نجسا. قاله في الهداية … وسرجين نجس. وفيه تخريج من دهن نجس. وقال مهنا: سألت أحمد عن السلف في البعر والسرجين قال: لا بأس. وأطلق ابن رزين في بيع نجاسة قولين.” انتهى، من “الفروع” (6/127-128).

وينظر أيضا للفائدة: “المعاملات المالية المعاصرة”، دبيان الدبيان (3/444).

Dia juga berkomentar dalam pembahasan syarat jual beli bahwa barangnya harus termasuk barang yang hukumnya mubah dimanfaatkan dan dimiliki secara mutlak … tapi tidak jika najis. Dia mengatakannya dalam kitab al-Hidayah … Sirjīn najis, dan mengandung unsur mengeluarkan lemak yang najis. Muhanna berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad tentang pendapat ulama Salaf tentang kotoran dan Sirjīn, maka dia menjawab, “Tidak masalah.” Ibnu Razin menyampaikan ada dua pendapat mengenai jual beli benda najis. Selesai kutipan dari al-Furūʿ (6/127-128). Lihat juga untuk tambahan faedah al-Muʿāmalah al-Māliyyah al-Muʿāṣhirah, karya Dibyan al-Dibyan (3/444).

وعلى ذلك؛ فإذا كان الروث المذكور: روث بهائم مأكولة اللحم، كالإبل والبقر والغنم: فلا حرج في الانتفاع به في تسميد الأرض، ولا حرج في بيعه وشرائه. ومثل ذلك أيضا روث الخيل، فهو طاهر أيضا.

وأما روث الحمر الأهلية، فهو نجس، لا يحل بيعه وشراؤه في قول جمهور العلماء.

لكن إن كان مختلطا بغيره من روث البهائم مأكولة اللحم، وكان الغالب هو روث هذه البهائم: فنرجو ألا يكون حرج في بيع المجموع، عملا بحكم الغالب، وللحاجة إليه، مع ما سبق فيه من الخلاف بين أهل العلم.

Dengan demikian, jika kotoran tersebut adalah kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, seperti unta, sapi, dan domba, maka tidak mengapa menggunakannya untuk memupuk tanah maupun memperjualbelikannya. Begitu pula dengan kotoran kuda, yang juga suci. 

Adapun kotoran keledai peliharaan, maka itu najis. Tidak boleh diperjualbelikan menurut mayoritas ulama. Namun jika dicampur dengan kotoran lain dari hewan yang dagingnya boleh dimakan hingga lebih dominan kotoran yang suci, maka kami berharap semoga tidak mengapa menjualnya secara satu kesatuan, karena yang dihukumi adalah yang lebih dominan, serta adanya kebutuhan terhadapnya, selain memang ada perbedaan pendapat di antara para ulama sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

ثانيا:

حكم الانتفاع بالروث النجس 

يجوز الانتفاع بهذا السرجين النجس من غير شراء؛ لما روى البخاري (2082)، ومسلم (2960) من حديث جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ) فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ: (لَا هُوَ حَرَامٌ) ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: (قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ).

Kedua, tentang hukum memanfaatkan kotoran najis. Dibolehkan mengambil manfaat dari kotoran najis ini tanpa membeli. Hal ini berdasarkan riwayat Bukhari (2082) dan Muslim (2960) dari hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan khamar, bangkai, babi, dan patung.” 

Kemudian, ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak dari bangkai yang bisa dimanfaatkan untuk sebagai minyak untuk memoles kapal, meminyaki kulit, dan dipakai orang-orang untuk minyak penerangan?” 

Beliau bersabda, “Tidak, itu haram.” Kemudian, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Semoga Allah Melaknat Yahudi, karena ketika Allah Mengharamkan lemak hewan, mereka mencairkannya lalu memperjualbelikannya dan memakan uangnya.”

فالضمير في قوله: (لَا هُوَ حَرَامٌ) هو للبيع، أي لا يجوز بيع شحوم الميتة، ودل هذا على جواز الانتفاع فيما ذكر دون بيع.

وفي “الموسوعة الفقهية” (32/204): “قال أكثر الفقهاء: يجوز استعمال الزبل والسرجين في الفلاحة لتنمية الزرع، وقالوا: ولا يكون النابت نجس عين، ولكنه ينجس بملاقاة النجاسة، فيطهر بالغسل” انتهى.

وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله في “الشرح الممتع” (8/136): ” وهذا القول هو الصحيح: أن الضمير في قوله: (هو حرام) يعود على البيع، حتى مع هذه الانتفاعات التي عددها الصحابة رضي الله عنهم، وذلك لأن المقام عن الحديث في البيع.

Kata rujukan dalam sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “Tidak, itu haram,” maksudnya adalah menjual, sehingga artinya “Tidak boleh menjual lemak dari bangkai.” Hal ini menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari hal-hal tersebut tanpa menjualnya. Dalam al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (32/204) disebutkan bahwa mayoritas ahli fikih berpendapat bolehnya menggunakan kotoran dan Sirjīn untuk bertani dan bercocok tanam. Mereka berkata bahwa tanaman tidak najis secara zatnya, melainkan jadi mutanajis karena bersentuhan dengan najis, sehingga bisa disucikan dengan cara dicuci. Selesai kutipan. 

Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam asy-Syarh al-Mumti’ (8/136), “Pendapat inilah yang benar,” bahwa kata rujukan dalam dalam sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “Tidak, itu haram,” merujuk kepada penjualannya, walaupun adanya manfaat-manfaat yang disebutkan oleh para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— ini, karena konteks dalam hadis ini adalah tentang menjualnya.

وقيل: هو حرام، يعني الانتفاع بها في هذه الوجوه، فلا يجوز أن تُطلى بها السفن، ولا أن تدهن بها الجلود، ولا أن يستصبح بها الناس.

 ولكن هذا القول ضعيف.

والصحيح: أنه يجوز أن تطلى بها السفن، وتدهن بها الجلود، ويستصبح بها الناس” انتهى.

Ada yang berpendapat bahwa sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “Itu haram,” maksudnya adalah mengambil manfaat untuk hal-hal tersebut, yakni dimanfaatkan sebagai minyak untuk memoles kapal, meminyaki kulit, dan digunakan orang-orang untuk minyak penerangan. Namun ini pendapat lemah. Pendapat yang benar adalah boleh dimanfaatkan sebagai minyak untuk memoles kapal, meminyaki kulit, dan digunakan orang-orang untuk minyak penerangan. Selesai kutipan.

وعليه؛ فيجوز استعمال السرجين النجس في صناعة الطوب، ويطهر الطوب بهذه الصناعة، بناء على القول بالاستحالة؛ فإن دخان النجاسة ورمادها طاهر، وهذا الاحتراق يحول العين إلى مادة أخرى وهي الطوب الأحمر.

وعلى القول بعدم الاستحالة، وبقاء الطوب نجسا، يجوز استعماله في البناء، وإذا طلي بعد ذلك، زال حكم النجاسة فلا يضر لمسه بمبتل، لأن الطلاء صار حائلا بين النجاسة واليد .

والله أعلم

 Dengan demikian, boleh menggunakan kotoran yang najis untuk membuat batu bata dan menjadi suci dengan proses pembuatan ini, berdasarkan prinsip Istiẖālah, sehingga asap dan abu najis ini suci karena ada proses pembakaran yang mengubah zat najis menjadi zat lain, yaitu bata merah. Adapun menurut pendapat yang menolak prinsip Istiẖālah, maka batu bata itu tetap najis. Boleh menggunakannya dalam pembangunan, lalu jika sudah dicat, maka hukum najisnya hilang, sehingga tidak masalah jika disentuh dalam keadaan basah, karena cat tersebut menjadi pembatas antara kotoran dan tangan. Allah Yang lebih Mengetahui.

Sumber:

islamqa.info/ar/answers/307312/حكم-بيع-روث-الحمير-لاستعماله-في-صناعة-الطوب

PDF sumber artikel.

🔍 Ciri Ciri Syiah, Pertanyaan Tentang Syiah, Larangan Wanita Muslimah, Doa Setelah Sholat Sunnah Tahajud, Cara Mengusir Tuyul, Kewajiban Istri Melayani Suami Menurut Islam

QRIS donasi Yufid